Aku Bahkan Mencari Tahu Apakah yang Meninggal Masih Dapat Merasakan Rindu

My Little Cave
5 min readMar 8, 2024

--

Setiap kali aku bertemu kawanmu dan keluarga dekatmu semasa hidupmu, sebagian selalu seperti terhenyak seperdetik memandangi wajahku. Mereka selalu bilang aku terlalu mirip denganmu. Aku selalu tidak yakin bagaimana merespon hal-hal seperti itu. Mungkin karena aku sama-sama merindukanmu seperti mereka juga merindukanmu.

Photo by Joel Naren on Unsplash

Aku selalu khawatir dan banyak bersedih mengingat bagaimana aku tidak bisa banyak menolongmu di waktu-waktu kecilku. Memori orang dewasaku membantuku memahami betapa menderitanya dirimu, melalui serpihan-serpihan memori interaksi yang membeku di sudut kepalaku. Aku sering berandai-andai jika aku bisa lebih banyak menunjukkan dukunganku kepadamu waktu itu. Aku sering berandai-andai jika aku lebih tahu cara untuk menenangkanmu, membuat sedikit saja rasa aman bagimu.

Sepenuhnya memahami, aku yang masih kanak-kanak itu hanyalah seorang kanak-kanak biasa, yang tak seharusnya bertanggungjawab atas perasaan orang dewasa di sekitarnya.

Meski begitu, ternyata ingatan tertajam yang kumiliki dari momen-momen itu adalah betapa sebenarnya aku merasa sangat tidak berdaya. Perasaan tidak mampu berbuat apa-apa, tidak bisa berkata apa-apa. Berbalut selimut yang dikira kematangan, kedewasaan, pengertian oleh orang-orang di sekitarku. Aku adalah anak-anak di kala itu. Aku tidak seharusnya menjadi sematang itu, sedewasa itu.

Seharusnya aku menangis saja, seharusnya aku berteriak saja, seharusnya aku… lebih banyak menunjukkan betapa aku tidak ingin berpisah denganmu. Betapa dirimu berharga sekali buatku. Jadi jangan tinggalkan aku.

Seharusnya aku jadi tidak peduli saja, seharusnya aku lebih banyak memberitahmu dengan terang-terangan saja, berjuanglah dengan lebih baik lagi, berjuanglah buatku dan masa depanku. Jangan menyerah! Tolong jangan menyerah. Jadilah kuat buatku. Jadilah sehat buatku. Tetap di sini… tetap di sini…

Ketika dirimu jelas-jelas sedang tak baik saja, semua orang di sekitarku — yang aku yakin berniat baik itu — selalu mengatakan bahwa “Ibumu baik-baik saja”. Aku adalah seorang anak kecil yang cukup cerdas seingatku. Tentu saja aku tidak percaya. Aku hanya bisa menangis frustrasi di toilet sekolah dasar yang agak kumuh itu. Tapi air mataku tidak peduli. Aku merasa selalu ditinggalkan di pojokan ketidaktahuan. Dianggap anak-anak yang belum punya rasa, yang belum punya cinta sebesar dunia. Aku masih tercekat setiap kali teringat momen-momen itu.

Sejak terakhir aku berkesempatan mengecup keningmu yang telah dingin itu, sejak terakhir aku memeluk ayahku erat-erat di pemakamanmu, aku senantiasa bertanya-tanya bagaimana aku bisa melanjutkan kehidupan tanpa kehadiranmu. Siapa yang akan mengajarkanku memasak makanan-makanan buatanmu yang sungguh ajaib itu. Siapa yang akan merayakan kelulusan demi kelulusanku. Siapa yang akan mengantarku memulai hari pertamaku bekerja sambil membisikkan doa kelapangan hati yang diajarkan Nabi Musa itu.

Siapa yang akan kutraktir menggunakan gaji pertamaku. Siapa yang akan menghantarkanku menyambut kehidupan rumah tanggaku. Siapa yang akan menjawab pertanyaan-pertanyaanku tentang anak pertamaku. Siapa yang akan menyamankanku ketika aku sedikit berseteru dengan pasanganku. Siapa yang akan memelukku ketika hatiku rasanya gaduh sekali tanpa aku tahu sebabnya. Siapa yang akan kunanti-nanti suaranya di ujung telepon di setiap akhir pekan. Siapa yang akan kurindu-rindukan setiap mudik menjelang lebaran.

Tahun ini akan menjadi ramadhan ke-17 ku tanpamu. Aku kira aku akan terbiasa juga. Ternyata duka memang hal yang tidak mudah letih mengunjungiku dari waktu ke waktu. Di tengah capaian-capaianku aku selalu berimajinasi akan kehadiranmu merayakan bersamaku, sambil bertanya-tanya apakah dirimu bangga melihatnya.

Di antara mangkok demi mangkok masakan yang kubuat, selalu terbesit apakah dirimu akan juga menyukai makanan buatanku seperti aku dulu menyukai makanan buatanmu.

Di antara tulisan-tulisan yang kubuat saat merindukanmu, aku merasa rela membayar berapapun untuk sekali lagi menerima surat-surat kecil yang kau selipkan di atas kotak bekalku; memberitahuku betapa engkau menyayangiku.

Kata-kata yang begitu berharga buat seseorang yang sampai hari ini hatinya masih saja serapuh permen kapas ini.

Ini mungkin terdengar gila, tapi aku rasa aku rela melakukan apapun untuk mengalami sekali saja perdebatan kekanakan denganmu, berselisih paham tentang selera busanaku, atau bagaimana aku menata isi lemariku, atau tentag bagaimana aku tak seharusnya menjadi sesibuk itu dan tak tidur selarut itu.

Aku rindu sekali. Aku rindu sekali. Aku rindu sekali.

Aku kadang khawatir, jika suatu hari cintamu tidak lagi berjejak di dalam memoriku dan kehidupanku. Ketika satu demi satu orang-orang yang hidup bersamamu dan bersamaku tidak lagi dapat kutemui, mungkin karena waktu, atau karena takdirku harus berjauhan di belahan bumi lainnya. Aku khawatir tidak bisa lagi membawa segenggam kasihmu seerat ini, yang semakin hari semakin tak lagi berbentuk konkret di kepalaku.

Aku bahkan mencari tahu, apakah dalam keyakinan kita, orang yang telah meninggal masih dapat merasakan rindu.

Dan aku belajar bahwa mereka yang telah meninggal dapat mendengar kabar mereka yang masih hidup di dunia. Sayangnya itu tak berlaku sebaliknya. Satu-satunya yang bisa kulakukan adalah menitipkan rindu demi rinduku dalam doa. Meminta berkali-kali dalam jumlah yang tak tahu malu, berdoa semoga Allah menyayangimu seperti engkau menyayangiku sewaktu kecil.

Sesederhana karena aku merasa tak pernah punya kesempatan sempurna untuk menunjukkan upayaku membahagiakanmu.

Aku teringat pernah sekali bertemu denganmu dalam sebuah mimpi. Aku tidak tahu jika itu pertemuan yang nyata atau tidak antara ruhku dan ruhmu. Tapi aku ingat aku berkali-kali bertanya “Bu, aku akan baik-baik saja, kan? Kita akan baik-baik saja, kan?”. Dan engkau menjawabku dalam diam sambil berkali-kali mengangguk tenang dengan senyum yang selalu kuingat sama indahnya itu. Tidak ada kata-kata apapun dalam pertemuan itu, tapi itu terasa sangat cukup bagiku dan kangenku yang seluas samudera itu.

Rasa-rasanya satu mimpi itu telah berlalu lebih dari satu windu lalu. Tapi aku terus berusaha menyimpannya dengan baik, menjadi pengingat buatku hingga hari ini sambil berharap bahwa aku selalu mengingat bahwa kasihmu dan dukunganmu abadi. Dan karena itu aku tidak boleh berpaling terhadap kasih Tuhan dalam hidupku. Bahwa aku selalu dapat kembali kepada pengampunan, tak peduli seberapa aku telah merusak hidupku sendiri.

Bahwa selama hidup, aku masih bisa mengupayakan takdirku untuk bisa berkumpul denganmu di surga Tuhanku. Konon katanya di hari akhir berkumpulnya manusia sepanjang masa, kita akan sementara saling tak ingat ketika amal kita ditimbang, saat menanti kitab amal kita dibagikan, dan saat menyeberangi jembatan perantara surga dan neraka.

Aku sungguh-sungguh tidak tahu bagaimana nasibku nanti menimbang segala tindak-tandukku dan isi hatiku yang kacau sekali. Tapi sungguh aku ingin terus berharap melalui doa-doaku, bahwa selepas itu semua berlalu, kita dapat berpelukan penuh kelegaan karena Tuhan berbaik hati kepadamu dan kepadaku dan kepada orang-orang yang kita cintai. Aku ingin terus berharap, dan aku akan selalu berusaha sebaik yang aku mampu untuk menjaga harapan itu.

Kehidupanku adalah juga bukti akan kehadiranmu yang mengalir dalam darahku, dalam jiwaku, dalam hatiku. Nafasku adalah rekoleksi akan kegigihanmu dan perjuanganmu. Tindakku dan tuturku juga adalah prasasti kebaikan hatimu dan kebijaksanaanmu. Aku pastikan akan berusaha menjaganya selama Tuhan mengizinkanku.

Selamat ramadhan, ya, Bu. Apakah di tempat tinggal ibu saat ini kalian juga saling berkunjung menyambut lebaran? Apakah di sana kalian juga saling mendoakan dan bermaafan seperti kami di sini? Simpan ceritanya sampai kita bertemu lagi, ya, Bu. Aku akan menjaga diriku baik-baik di sini. Semoga Allah juga menjaga ibu di sana, ya. Sampai jumpa.

--

--