‘Aku Bersaksi Kamu adalah Orang Baik’ Seharusnya Tak Dikatakan Hanya di Pemakaman
“Anakmu nanti akan menjadi tabungan akhiratmu”.
Bayangkan seseorang mengatakan itu kepada orang tua yang baru saja menguburkan anak satu-satunya. Air matanya belum kering. Tanah kuburan anaknya juga masih merah. Bagaimana bisa ada yang setega itu mengatakannya kepada orang tua yang sedang sangat berduka karena anak yang mereka nantikan dan besarkan dengan banyak harapan, ternyata ditakdirkan berpulang sebelum menginjak remaja.
Orang tua mana yang tidak hancur hatinya menghadapi kenyataan sekaligus takdir yang semenyakitkan itu. Dan tiba-tiba, seseorang dengan ringannya mengatakan nasihat yang seharusnya mendatangkan ketenangan. Sekalipun dengan intensi yang baik, di masa berduka semendalam itu, mengikhlaskan bukanlah hal yang ringan sama sekali. Meskipun kalimat itu diniatkan sebagai penghiburan, kalimat itu seperti menaburkan garam di luka yang sedang terbuka. Tidak peduli, dan nirempati.
Ringan mengatakannya, karena yang pergi bukan buah hati kita sendiri. Ringan mengatakannya, karena bukan kita yang harus menerima bahwa orang yang kita sayangi, selamanya tidak akan bersama kita di dunia.
Banyak juga yang tidak peduli tentang betapa bisa menjadi kejamnya kalimat-kalimat bernada “ambil saja hikmahnya”, ketika dikatakan tanpa ada niatan untuk berusaha menghormati penderitaan manusia lain. Bagaimana bisa kita memaknai, sebelum sempat diberi ruang untuk menerima. Sekalipun telah menerima, penderitaan tidak pergi sekejap begitu saja. Ada yang bertahun-tahun sebenarnya masih membawa-bawa lukanya. Meskipun sudah tidak lagi mengalir air matanya, meskipun ia sudah terlihat berlapang dada dan kembali bisa tertawa.
Ada kisah yang kita selalu tidak pernah bisa benar-benar mengerti. Mengatakan hal-hal klise tidak pernah membantu mereka yang sedang menderita. Dalam kata lain, ada waktu-waktu di mana lebih baik tidak mengatakan hal-hal yang tidak perlu.
Yang berduka, yang menderita, memang akan butuh waktu untuk banyak menangis, banyak merenung, banyak sakit kepala, banyak menyesali, banyak merasa seperti hampir gila… mungkin kamu akan melihat banyak kemarahan, frustrasi, keputusasaan, dan emosi-emosi raksasa lainnya. Sulit untuk cepat kembali merasa berharga, ketika semua seperti berjalan tidak menginginkan apa yang kita harapkan, yang kita rencanakan, yang kita sayangi, yang kita hargai.
Aku begitu terkesan oleh apa yang dituliskan Jung Hyeshin dalam bukunya. Menurut Jung, terutama dalam masa-masa menderita, manusia kehabisan energinya dengan luar biasa. Seperti telepon genggam yang lama tidak diisi dayanya. Bahkan sebuah telepon genggam lebih beruntung, karena ketika baterainya menyentuh daya 0%, telepon genggam akan bisa otomatis mati begitu saja. Tapi tidak dengan manusia. Manusia tidak bisa seenaknya memilih mati begitu saja. Manusia memiliki insting natural untuk tetap bertahan dan berusaha tetap menjalankan kehidupan.
Apapun alasannya, relijius, moral, sosial, survival, manusia tidak bisa semudah itu memilih menyerah, tidak peduli semenderita apa dirinya. Meskipun rasanya ingin selesai saja, penderitaan yang akan diwariskan agaknya terasa terlalu mengerikan bagi mereka yang ditinggalkan.
Sebagian kecil pergi tinggal nama dan hanya menjadi bahan cerita tragis di koran dan televisi. Tapi jauh lebih banyak lagi yang sedang berusaha menjaga dirinya sekuat tenaga, dan memiliki pemikiran ingin menyerahnya dalam kepala saja.
Dari luar hidupnya tampak bahagia dikelilingi banyak keuntungan dan keberuntungan. Tapi tetap saja tidak ada yang pernah benar-benar tahu hati manusia, dan seberapa dalam lukanya yang masih menganga. Ketika manusia kehabisan energinya, banyak yang kemudian jadi merasa tak kasat mata. Karena semua orang menginginkannya untuk segera bangkit, segera tidak bersedih, segera kembali baik-baik saja.
Padahal, pemulihan tidak pernah bekerja seperti buah karbitan. Akibatnya, tetap hidup menjadi gagasan yang terasa hampa dan tidak berguna, karena bagian terbesar yang saat ini sedang menyusun dirinya: rasa menderita, diabaikan begitu saja oleh banyak orang di sekelilingnya. Memaksa mereka pura-pura tidak menderita, sama sekali tidak membantu maupun mengobati. Dalam masa berduka, mengabaikan rasa sakitnya sama saja menganggap mereka tidak ada sama sekali.
Untuk beberapa waktu, bagi yang sedang menderita, bersyukur terasa seperti tanggung jawab yang terlalu berat untuk dipikul. Untuk sementara, bersyukur terasa seperti sebuah konsep yang begitu abstrak sekaligus absurd. Sehingga, menyarankannya pada mereka yang sedang menderita, seringkali jadi nasihat yang sangat sia-sia. Hanya membuat si pemberi nasihat merasa heroik, tetapi justru membuat yang dinasihati merasa tidak diinginkan kehadirannya.
Nampaknya, ada baiknya kita perlahan belajar lebih berhati-hati. Sekalipun jika itu artinya kita harus belajar lagi dan lagi dan lagi. Sekalipun jika itu artinya terkadang kita harus mengakui bahwa kita telah menyakiti. Sekalipun jika itu artinya, kita mengizinkan percakapan-percakapan yang sama sekali tidak nyaman.
Di pemakaman, kita diajak untuk bersaksi akan kebaikan mendiang yang sedang kita lepaskan. Namun, bukankah mengatakan hal semacam itu di pemakaman adalah waktu yang sangat sangat terlambat? Mungkin akan lebih berguna untuk lebih banyak mengatakan “aku bersaksi, kamu adalah orang yang baik” ketika mereka masih di sisi kita. Masih hidup dan punya kesempatan untuk merengkuh harapannya lagi.
Mungkin akan lebih berguna, jika kita memberi ruang bagi mereka yang sedang menderita untuk menjadi dirinya sendiri. Menjadi diri yang memang sewajarnya banyak membicarakan hal yang sarat kesedihan, ketakutan, dan kekecewaan. Menunjukkan kepada mereka bahwa kehadirannya selalu berharga, termasuk kehadiran penderitaannya.
Meminjam pernyataan Jung Hyeshin, alih-alih hanya mengandalkan mengoper tanggung jawab kepada tangan para tenaga kesehatan, kita semua bisa memberikan pertolongan pertama bagi jiwa orang-orang yang kita kasihi.
Siapapun bisa belajar cara memberikan resusitasi jantung sebagai pertolongan pertama ketika seseorang tiba-tiba pingsan dan kehilangan detak jantungnya. Dan begitupun kita juga bisa belajar untuk meresusitasi harapan bagi kemauan hidup yang sedang kehilangan detaknya.
Terkadang, yang dibutuhkan hanyalah kemauan untuk menghormati penderitaan, termasuk yang tidak pernah kita alami sendiri. Ungkapan sesederhana “bagaimana perasaanmu hari ini?” tanpa embel-embel ingin jadi pahlawan, seringkali menjadi secercah harapan yang lebih berharga dibanding kata-kata yang kita kira bijaksana.