Aku Ingin Mencintai Seperti Kucingku Ketika Mengejar Kupu-Kupu
“Maafkan. Maafkan orang yang menyakitimu. Dia hanya sedang menunjukkan betapa ia mencintaimu”.
Tapi… apa iya?
Kemurungan dalam hubungan banyak datang dari anggapan bahwa menjaga harmoni adalah sebuah keharusan. Padahal dalam hubungan ada banyak gang buntu yang bisa membuat manusia tidak sanggup menjangkau harapan masa depan bahkan bersama orang yang selama ini ia pedulikan.
Aku sedang tidak membicarakan relasi romantis secara khusus, tapi juga tentang hubungan dalam pertemanan, keluarga, tetangga, atau rekan kerja. Atau apapun yang menjadi irisan di antara itu semua.
Kehidupan berelasi bisa jadi sangat datar dan sangat membosankan, bahkan menyakitkan ketika sedang redup-redupnya. Terlebih ketika yang meniup nyala kehidupan tersebut adalah orang yang kita kira akan terus ikut serta menjaganya bersama kita.
Dan dalam situasi seperti ini, kadang menggenggam harapan dapat terasa seperti menggenggam tangkai mawar tepat pada duri-durinya. Dan menyerah bisa jadi adalah pilihan yang lebih bijaksana.
Ternyata… beberapa orang di dunia memang dihadirkan untuk menguji keimanan dan kesabaran, di level yang benar-benar tidak terbayangkan di mata kebanyakan orang-orang; terlebih di benak mereka yang mengatakan bahwa memaafkan seharusnya adalah sesuatu yang seolah terjadi alami.
Padahal ternyata ada kesalahan-kesalahan yang sulit sekali termaafkan. Sehingga, urusan maaf memaafkan ini sebenarnya adalah perjalanan yang sulit sekali untuk dinormakan. Dan sebaiknya memang tidak untuk disamaratakan. Memaafkan dan melupakan, keduanya adalah urusan yang benar-benar berbeda.
Sebagian hal mungkin termaafkan, tapi tidak bisa terlupakan. Sebagian hal terlupakan, padahal paling penting untuk termaafkan. Sebagian lagi tidak mudah terlupakan, sekaligus tidak mudah termaafkan.
Memaksakan memaafkan jadi terdengar konyol sekali, bukan? Terlebih ketika pemaksaan dilakukan tanpa sedikit pun niatan untuk mendengarkan dan berempati tanpa menghakimi, untuk mengupayakan keberlanjutan masa depan.
Berelasi memang benar-benar merepotkan. Namun memilih sendirian juga datang dengan kerepotan yang berbeda. Selama masih berumur, memang kita tidak akan pernah benar-benar bebas dari kerepotan dunia.
Dan karena itu, untuk beberapa relasi yang amat berharga, memaafkan sepertinya bisa menjadi mata uang yang hanya dapat ditebus selama ditemukan kesepakatan atas sebernilai apa sebuah hubungan. Seberapa kita mau untuk bertahan untuk mengizinkan kerepotan — yang cukup terlalu berharga untuk dilepaskan.
Dalam membangun dan menata bata demi bata fondasi kasih, aku ingin menjadi seperti kucingku ketika sedang mengejar kupu-kupu. Ia tahu kapan harus berlari setengah mati, tapi dia juga tahu kapan harus berhenti dan merelakan. Di sisi lain, aku juga ingin menjadi seingintahu kucingku, sepenasaran itu untuk mencoba, untuk berusaha. Tapi dia juga tahu kapan harus membiarkan si kupu-kupu pergi. Membiarkannya bebas tanpa menyakiti.
Pada akhirnya tidak semua relasi di dunia dicipta untuk bertahan lama. Sebagian menjadi basi seiring waktu, sebagian lagi terfermentasi dalam kenangan yang terawat. Sebagian terabadikan dalam kelanggengan, sebagian lagi berakhir dalam perpisahan yang menyesakkan. Keduanya punya ruang di dunia, keduanya punya peluang, keduanya mempunyai kadar kemungkinannya.