“Aku Kira Aku Berada di Pihakku”
Judul di atas bukan gagasanku sendiri. Kalimat itu kubaca suatu hari dalam sebuah buku yang sedang kunikmati. Tapi ketika membaca kalimat itu, ada sesuatu dalam diriku yang tiba-tiba tersentak, terkejut akan betapa perkataan tersebut terasa benar setidaknya bagiku sendiri.
Seorang aku yang masih kecil tak tahu apa yang bisa dilakukannya di tengah inkonsistensi, dan mungkin akan menganggap ini urusan hidup dan mati. Sesederhana karena apa bisanya seorang balita mengurus segala kebutuhan kehidupannya. Sedang aku yang masih dewasa baru saja, tak pernah terlatih tertatih dihadapkan kegagalan memaknai kata “hati-hati”.
Aku gelisah berhari-hari mengalami bagaimana perasaan ingin saling melindungi bisa menjadi sebentuk sayang yang gegabah dan tak membantu. Menjadi sebentuk sayang yang telah aus karena terus menerus dipaksa mengalah, dan menggelinding menjadi amarah, dan akhirnya pecah meletus menjadi putus asa.
Aku tahu bagaimana manusia lahir mewarisi keinginan alami untuk berhati-hati, dorongan yang tersimpan terekam dalam darah generasi masa ke masa. Tapi tolonglah, aku tidak menginginkannya seperti ini selama-lamanya. Kita tak lagi hidup berkoloni menghindari monster purba atau macan raksasa.
Aku tak ingin bertanya-tanya setiap hari, apakah hari ini aku akan berbuat salah, apakah hari ini aku akan terkucilkan dari kawanan, apakah apakah apakah apakah apakah, apakah, APAKAH, APAKAH, APAKAH…
Aku tak mau membeku, terbeton dalam apakah apakah apakah. Kepalaku sudah cukup mau meledak setelah hampir tak tahu bagaimana hidup tanpa bersigap bersiap setiap waktu. Setelah hampir lupa bagaimana tak perlu bertanya selalu, setelah tak ingat rasanya hidup tanpa diselimuti rasa ragu.
Aku kira aku berada di pihakku. Di waktu-waktu begini, aku jadi sanksi. Aku jadi tak tahu apa betul aku benar-benar berada di pihakku. Jika ternyata tidak, bagaimana aku harus bertindak? Bagaimana aku dapat bertumbuh tanpa merusak?
Aku sudah lebam-lebam di sana, di sini, di hati. Aku sudah memar-memar di jiwa, di kata-kata. Aku masih belajar mengeja huruf dan kalimat yang tidak menyengat. Aku masih belajar merangkak dan meraba rasa aman yang tidak bersyarat. Aku masih belajar berani berhadapan dengan perasan-perasan kebuntuan dan kengerian.
Setidaknya, kali ini aku tidak memilih berjalan sendirian. Setidaknya kali ini aku mau belajar berteman.
Tidak ada manusia yang benar-benar dapat hidup dengan tak berkawan. Bahkan dalam memaknai hidupnya sendiri, manusia butuh manusia lainnya untuk memahami setiap bagian dari pengalamannya. Dan dari semua manusia yang pernah kutemui, tidak sedikit yang kemudian tak jadi kawan selamanya, bukan juga sebagai pemberi rasa damai dan hangat, bukan juga obat di kala sakit, bukan juga sebagai cahaya dalam gelap.
Beberapa sepertinya dihadirkan memang untuk menguji ketabahan, menghadirkan rasa takut, mengalutkan rasa khawatir, memburamkan keberanian, dan meretakkan kejernihan. Menariknya, semua sosok itu, figur itu, dapat hadir bersamaan di dalam diri satu manusia. Bersama-sama seperti jalinan anyaman yang rekat. Membuatku ingin berhati-hati menginterpretasi manusia dan segala rumit-rumitnya.
Bagaimanapun, aku muak tinggal — kuharap tak sampai meninggal, dalam kubangan kehati-hatian yang tak kuperlukan. Belasan, BELASAN TAHUN, aku dibilangi untuk berhati-hati menjaga hati, manusia satu, kemudian manusia satu lagi, kemudian satu lagi, tak terasa lama-lama jadi sekoleksi. Sekoleksi kewaspadaan yang tak lagi mewakilkan perasaan ketulusan. Menyisakan ketakutan-ketakutan yang tak lagi kuinginkan.
Kali ini aku sungguh ingin betul berada di pihakku. Ini berarti, aku tak lagi menyimpan-nyimpan sendiri dugaan-dugaanku, jengah-jengahku, kesal-kesalku. Ketika perlu, aku akan belajar bernegosiasi, berkonfrontasi, dan tak ragu lantang mengingatkanku, “Hei, pertemanan ini terlalu berharga untuk dibiarkan sekarat. Kamu letakkan dulu ego-egomu”.
Kali ini aku sungguh ingin betul berada di pihakku. Ini berarti, aku tak hanya mengambil peran menjadi ibu peri. Ketika perlu, aku akan menjadi komandan kecil yang tak terlalu mungil, yang tak ragu lantang mengingatkanku, “Hei, hubungan ini menghabiskan waktumu, biarkan berlalu. Kamu bukan juru selamat”.