Aku Mengerti Kenapa Kamu Ingin Mati
Catatan penulis: Pembahasan dalam artikel ini mengangkat isu sensitif mengenai bunuh diri dan dorongan bunuh diri. Silakan berhenti membaca jika kamu merasa tidak nyaman meneruskannya. Kesehatan dan kestabilanmu jauh lebih berharga dari rasa penasaranmu. Artikel ini ditulis sebagai ekspresi peringatan Bulan Pencegahan Bunuh Diri Sedunia, September 2024.
Semula aku ingin menunda menceritakannya. Biar menjadi sesuatu yang disimpan olehku dan orang-orang yang menemaniku dalam jarak yang amat dekat. Tapi hari ini aku mendengar bahwa semalam seseorang mengakhiri hidupnya tepat di tempat aku biasa pergi menenangkan diri. Sekelebat terpikir, aku paham — jika benar orang itu yang memilih pergi sendiri — mengapa ia sanggup melakukannya, di tempat itu, di waktu-waktu seperti itu.
Udara di sekitarku jadi terasa tebal, menyisakan jejak-jejak dorongan moral dan intuisi, bahwa cepat atau lambat apa yang aku lalui baiknya tidak hanya tersimpan jadi cerita sendiri. Aku satu dari sebagian yang selamat dari perjalanan seperti itu. Hatiku bilang suatu hari aku harus berdiri lebih tegap lagi, lebih lantang lagi, menjadi bagian yang memberi semangat dan membantu selamat.
Aku menceritakan ini bukan dari sudut pandang orang ketiga. Bukan juga dari lensa orang kedua. Aku bicara dari hati dan dari jiwa orang pertama. Yang menyusurinya, melaluinya, dan kini melampauinya.
Kepalaku banyak bicara ini itu tentang bagaimana cara melakukan apa-apa saja yang memungkinkan untuk membuatku pergi. Cara-cara yang sangat kreatif aku akui. Namun tetap saja mengerikan. Dan terkadang… Anehnya… Melegakan. Ketika aku mendengar ide-ide itu, dahulu aku sering menangis menjadi-jadi. Mengira sekaligus cemas skenario jadi-jadian itu lama-lama akan terlampau melelahkan, dan pada akhirnya benar akan terjadi sungguhan.
Adalah sebuah berkat aku mampu menuangkan ini semua dengan tenang dan penuh rasa syukur yang teramat sangat. Meski semula ditulis sebagai ekspresi kedukaan, aku berdoa meski barang satu atau dua, dari sini kamu juga dapat menemukan harapan.
“Aku mengerti kenapa kamu ingin mati.”
Pertama kali mendengarnya, terasa aneh, asing. Karena semua orang dulu menuntutku untuk tak boleh merasakan dorongan yang padahal rasanya lantang sekali. Seperti dipaksa mengabaikan peringatan kebakaran yang padahal bunyinya saja sudah cukup memekakan telinga. Disuruh berpura-pura melanjutkan aktivitas seolah bunyi sekeras itu tidak ada. Jadi, siapa yang gila?
Berada di hadapan dan mendengar seseorang yang tak enggan dan tak gentar sama sekali mengatakan “aku mengerti kenapa kamu ingin mati”, seperti memberikan aku sedikit keberanian untuk mencoba kembali. Setidaknya satu kali lagi, setidaknya satu hari lagi. Siapa yang sangka, hampir 3 tahun berlalu sejak pertemuan itu, dan aku masih di sini. Akupun dulunya tak pernah mengkalkulasi bahwa umurku akan sepanjang ini. Jadi kalau kamu bertanya apa cita-citaku, jangan heran jika aku masih tidak tahu.
Hari ini, aku diliputi rasa berkabung atas perginya seseorang yang bahkan tidak kukenal. Terkadang ada seperti penyesalan mengapa tidak banyak yang bertindak lebih jauh lagi untuk mencegah kematian semacam ini.
Kematian yang sebenarnya dapat dicegah dengan akses bantuan yang lebih baik, dengan sistem dukungan kolektif yang lebih erat dan lekat. Sehingga tidak ada lagi yang harus menjadi martir agar isu ini tak lagi jadi gajah di dalam rumah.
Dorongan mengakhiri hidup pernah terasa rekat bagiku, sekalipun aku paham sekali bagaimana cinta orang-orang di sekitarku selalu tetap dan kasih Tuhan selalu konstan. Dorongan yang seperti menuntutku mengakhiri semua hal yang bahkan sangat aku sukai, yang sangat aku hargai. Seperti setiap hari terjebak dalam kotak hitam yang gelap dan tidak berpintu. Ya, bayangkan saja betapa membuat frustrasi. Bernafas saja sulit, apalagi untuk berbahagia.
Siapa yang sanggup tetap hidup memandang dunia seperti konstan abu-abu dan berasap, tidak peduli meski matahari sedang cerah sekali. Siapa yang mampu seketika kehilangan kemampuan untuk melakukan hal-hal yang dahulu sangat dinikmatinya dan disukainya. Siapa yang tahan hidup setiap hari harus berupaya mengangkat badan sendiri yang sebenarnya sudah tidak punya daya untuk bangkit.
Siapa yang tahan tiap hari diingatkan kepala sendiri betapa percumanya memikirkan masa depan yang seperti tak punya harapan. Di dunia tersiksa, di akhirat dilaknat neraka. Setidaknya itu yang kudengar selama ini bagaimana dunia membicarakan orang-orang yang punya keinginan pergi dengan tangannya sendiri. Di sisi lain aku dapat berempati karena yang tidak mengerti akan mengira ini adalah dorongan yang kami inginkan.
Jika bisa memilih, siapa yang mau dihampiri perasaan seperti itu. Sebuah asumsi yang sungguh terburu-buru, dan sejujurnya terasa seperti berasal dari ucapan seseorang yang belum belajar, tapi sudah merasa berhak menghakimi.
Sebagian berbaik hati mengingatkan, mengatakan aku kurang dekat dengan Tuhanku. Sedangkan aku tahu betul Tuhan yang menahan-nahan hatiku dengan mati rasa dan bentuk perban-perban lainnya. Dengan cara-cara itu Tuhan seperti berbicara padaku bahwa Dia sangat menyayangiku. Di saat-saat seperti itu, justru Tuhan yang tidak pernah pergi. Hanya Tuhan yang tidak keberatan dengan tangisanku yang kadang sudah tidak dapat kukendali. Hanya Tuhan yang tidak keberatan ketika aku sedang kesakitan dan hanya bisa mengatakan “Tolong aku Tuhan, tolong aku Tuhan”.
Tuhan yang mengingatkanku berkali-kali melalui petunjuk-petunjuk yang mengingatkan
“Rabb-mu tidak akan meninggalkanmu dan juga tidak membencimu”. (Qur’an Surah Adh-Dhuha ayat 3)
Menarik. Ternyata yang paling sulit dan menyedihkan bukanlah bagian di mana aku ingin mati. Tapi justru pada bagian di mana aku ingin bertahan. Sangat ingin bertahan.
Aku punya keluarga dan teman yang baik sekali menyayangiku. Aku punya kucing-kucing lucu yang harus kuberi makan. Aku punya kopi favorit yang sayang sekali hanya dijual di tempat tertentu. Aku punya buku-buku yang belum sempat kupesan. Aku punya hijab dan baju favorit yang sayangnya tak akan bisa kukenakan jika nanti aku memilih mati… Serpihan-serpihan kecil yang sangat tidak ingin aku tinggalkan sekalipun artinya aku akan kesakitan untuk beberapa waktu.
Tetap hidup ketika sedang tidak menginginkannya adalah uji nyali paling berani yang pernah kulakukan. Pembuktian percobaan paling gila yang pernah aku laksanakan. Tuhan yang menjagaku dari melampaui batasku dan dari permintaan-permintaanku agar diizinkan menghentikan perjalanan.
Semula aku kira aku akan kalah juga. Semula aku kira ini akan selamanya. Aku tidak pernah berencana tentang masa depan, karena siapa mengira aku akan berumur panjang. Tapi aku salah, bertahun-tahun aku belajar dan belajar dan belajar lagi, melalui fase-fase depresif yang bahkan sudah tak penting lagi bagaimana awalnya dan siapa penyebabnya.
Pada akhirnya, aku masih belajar menerima bahwa terlepas dari penderitaan apapun yang mencetuskannya, apa yang kualami adalah sebuah kondisi medis yang terekognisi.
Aku tidak menghidupi hidup yang sia-sia, aku hanya sakit. Dan seperti orang-orang yang sakit, aku hanya butuh bantuan tambahan untuk menjalani hidup dengan senormal dan seberdaya mungkin.
Aku tahu aku punya pilihan untuk menyerah, tapi aku memilih untuk tidak melakukannya. Takut menyesal jika suatu hari melihat kembali dan mengingat bahwa aku tidak mencoba untuk menyelamatkanku setidaknya satu kali lagi.
Menyelamatkan masa depan yang mungkin kumiliki bersama teman, rekan, mungkin pasangan dan keluarga kecilku. Menyelamatkan waktu-waktu tertawa dan berbahagia. Menyelamatkan liburan-liburan yang dapat kunikmati. Menyelamatkan momen-momen mengharukan menyaksikan pernikahan adikku dan sahabat-sahabatku.
Bahkan aku ingin menyelamatkan momen-momen kerapuhan dan merasakan tangisan yang mengalir deras dalam pergumulan-pergumulan perjalananku. Menyelamatkan momen pertengkaran-pertengkaran kecil dan hebat yang mungkin dapat kurasakan karena besarnya cintaku kepada orang-orang yang kukasihi.
Ternyata aku tidak ingit melewatkan itu semua. Sama sekali tidak ingin membayangkan bahwa tidak akan ada aku di sana.
Ternyata pulih adalah dinamika yang menarik. Pikiran untuk mengakhiri masih kadang berkunjung sesekali. Tapi di masa-masa seperti itu kini aku mampu untuk mengizinkan dia bertamu. Karena dia adalah bagian dari diriku juga. Yang bagaimanapun pernah lahir karena diberi tugas untuk menyelamatkanku dari penderitaan yang teramat hebat. Yang pernah hadir untuk memberiku pelindungan tambahan dari guncangan-guncangan tak tertahankan. Kehadirannya pernah menjadi pahlawan yang memberiku harapan bahwa hidup tidak akan abadi, begitu pun rasa sakit dan penderitaan.
Setiap kali aku merasakannya, kini aku mengizinkannya duduk di sebelahku. Di sebuah ruang tamu kecil yang kusediakan di dalam kepalaku. Aku biarkan ia menangis hebat atau berteriak-teriak sekencangnya. Mengizinkannya melakukan apapun yang perlu ia lakukan, tanpa pergi, tanpa teralihkan, tanpa mengusirnya atau berusaha menyembunyikannya. Berusaha memberitahunya bahwa aku tidak akan ke mana-mana. Seperti seorang kakak yang tegas sekaligus tak goyah di hadapan krisis yang parah.
Aku terus berlatih agar tidak lagi takut menghadapi amarah-amarah dan kepahitan-kepahitan yang seringkali membawa pesan-pesan penting bagiku, membawa nasihat bagaimana ia ingin aku merawat dan menjaga diriku.
Aku berhutang budi pada banyak orang yang percaya padaku dan pada prosesku. Yang tak bosan-bosannya mengingatkanku bahwa aku dicintai meskipun aku sedang berada di balik tembok tebal transparan yang dibangun oleh kepalaku sendiri. Yang tak lelah tetap datang dan mengajakku berbincang tentang hal-hal lucu yang remeh dan ringan, sejenak mengingatkan bahwa hidup juga bisa terlihat menggemaskan. Aku berhutang budi pada orang-orang yang datang mengirimiku makanan dan cemilan ketika aku sendiri sudah tak bernafsu menjaga diri. Terima kasih semuanya.
Aku paham bagaimana bunuh diri dapat menjadi warisan yang sangat mengerikan, bagi banyak generasi setelah kita, bagi orang-orang yang mengasihi kita. Rasanya aku tidak akan tega membuat mereka bertanya-tanya apa salah mereka dan menyesalinya sepanjang masa. Aku tidak menyangka akan mampu mengatakan ini, tapi ternyata kehidupan bisa jadi tak buruk-buruk juga. Asal diberi waktu. Asal tak diburu-buru. Bertahan satu kali lagi. Bertahan satu hari lagi.
Jika kamu memutuskan membaca sampai akhir di bagian ini, terima kasih, ya. Aku harap kamu dapat kembali kemari satu bulan lagi, satu tahun lagi, satu dekade lagi. Aku harap kamu dapat meninggalkan jejak dan merayakan hebatnya perjalananmu, bersamaku di sini, di ruang ini. Sampai jumpa suatu hari, pemberani!