Bagian Paling Magis dari Hidup Orang yang Gampang Menangis
Buat sebagian manusia, air mata adalah hal yang mudah dan berlimpah. Dan orang-orang di sekitarnya tak jarang mengatakan bahwa itu adalah sebuah kelemahan yang melelahkan. Memiliki volume air mata yang begitu murah hati sering dianggap sebagai sesuatu yang harus dilawan dan dikalahkan.
Dari situ aku jadi tahu bahwa menjadi gembira adalah satu-satunya jalan untuk bisa diterima. Satu-satunya cara agar tidak tersisih di dunia. Dan karena itu aku jadi banyak berpura-pura. Ketakutan akan penghakiman bahwa aku bisa ditinggal oleh kawanan, hanya karena aku merasakan banyak perasaan dengan begitu mendalam. Ketakutan akan ditinggal sendirian karena terlihat agak terlalu sedih dan mengenaskan.
Aku jadi belajar membenci perasaanku sendiri. Dan merasa bahwa menangis adalah sebuah kegagalan. Bahwa tak terlihat ceria atau bersemangat adalah ketidakbecusan. Dan bahwa ketidakmampuan menjadi selalu optimis adalah sebuah ketidakberhargaan.
Aku terbiasa berkali-kali meminta maaf karena merasa respon-responku terhadap perasaan adalah sesuatu yang merepotkan.
Aku enggan membayangkan melibatkan manusia lain dalam keseharianku menyaksikan bagian yang aku kesulitan untuk banggakan ini.
Sedang liburan kali ini aku banyak mendengar doa dan harapan orang-orang di sekitarku yang menginginkan aku berpasangan dan mempertimbangkan pernikahan. Hampir memasuki usia 30-an, aku bisa memahami kegelisahan orang tuaku, nenekku, dan orang-orang dewasa lainnya yang menganggap pernikahan adalah sebuah pencapaian. Mereka bilang aku baiknya bergegas agar dapat menyuguhkan kelegaan bagi keluargaku.
Tapi kemudian, jika aku melakukan apa yang mereka katakan, siapa yang mempertimbangkan kelegaanku sendiri?
Kadang aku merasa mengapa dunia egois sekali mendesakkan norma yang sama sekali belum terasa normal di kepalaku ini? Aku saja masih belajar untuk menyayangi diriku sendiri, bagaimana aku di saat yang sama harus belajar menyayangi satu lagi manusia lainnya hampir 24/7 dan mungkin akan berlangsung sepanjang hidup?
Di sisi lain, aku menyadari bahwa bukanlah keputusan yang aman dan bijaksana untuk menuruti mentah-mentah, doa separuh perintah yang aku tahu secara realita belum siap untuk kulaksanakan. Aku sadar mungkin aku sedikit melupakan bahwa pasanganku kelak punya haknya untuk belajar membantuku merasa aman, seperti halnya aku bersedia belajar untuk membantunya merasa aman.
Tapi jujur saja, jika suatu hari aku bisa jatuh cinta, aku tidak ingin jatuh cinta pada fantasi dan bayangan. Aku ingin jatuh cinta betulan pada realita dan harapan yang terkalkulasi oleh hati.
Atau jangan-jangan pernikahan sesungguhnya memang sebuah eksperimen kehidupan? Dan seperti kaidah eksperimen yang seharusnya, baiknya percobaan memang memungkinkan hipotesis dua arah. Di mana kita sadar betul bahwa ada beberapa kemungkinan yang mungkin terjadi, dan menerima bahwa tidak selalu semuanya seperti rancangan yang kita duga pada awalnya.
Jika benar pernikahan adalah sebuah percobaan, bukankah artinya suatu hari ada hal-hal yang dapat mengubah tujuan perjalanannya? Dan bukankah artinya akan ada banyak sesuatu yang mungkin membelokkan haluan proses demi prosesnya? Dan mungkin akan ada banyak sekali uji perbandingan dan pengelolaan faktor-faktor acak yang mungkin berperan dalam naik turun kualitasnya?
Ah, sepertinya aku sedang terlalu banyak menggunakan otak dalam membahas ini. Hmmm, lumayan juga untuk ukuran seorang yang gemar sekali menangis dan emosional ini.
Tapi tahukah kamu bagian paling magis dari hidup orang yang gampang menangis? Hati yang serapuh arum manis, lembut dan cepat larut. Hati yang hidup dari merasakan semua perasaan yang dapat dibayangkan manusia. Yang sanggup bersedih dengan kesungguhan, dan mampu bergembira jauh lebih serius lagi— meski di kedua situasi itu, seringkali sama-sama melibatkan air mata. Sebentar… sepertinya aku mulai menemukan bentuk dari harapanku sendiri.
Aku berharap jika suatu hari aku diberkati dengan kebijaksanaan untuk memutuskan berpasangan, aku berharap dapat bertemu seseorang yang tak keberatan menyaksikan air mata. Yang mampu turut merengkuh bersamaku bulir-bulir kesedihan maupun kebahagiaan yang meleleh di ujung mataku, dan mungkin matanya juga, dan mungkin kelak mata anak-anak kami. Yang mampu menemukan ada doa kebaikan terselip di antara berkubik-kubik air mata yang akan kami saksikan maupun rasakan selama kami bersama, dalam kesulitan maupun keindahan.