Berpeluk Seluk Beluk: Tentang Tidak Ditinggalkan
Klakson-klakson galak memekakan telinga. Decak-decak resahnya para pengendara, memaki dengan kesal penguasa yang sombong sekali ingin segera melalui macetnya Jakarta; orang-orang yang mungkin mengira yang sibuk di dunia hanyalah mereka saja. Jantungku rasanya seperti berdentum-dentum sembari sesekali memeriksa jam tangan di pergelangan kiriku, berharap tak sampai melewatkan perjanjianku.
Aku tidak mungkin lupa atas mungkin jutaan lara yang dimulai dari Jakarta. Menariknya… aku tak lagi keberatan dengan itu semua.
Jakarta terasa seperti sebuah rumah yang lama tak kukunjungi, sedikit reyot di sana sini, sedikit retak dan mengelupas warna temboknya, namun tetap saja rumah adalah rumah. Kota yang dulu tak kusukai dan kutinggal pergi, nyatanya tak buruk-buruk juga. Tempat yang menyisakan banyak luka dan cinta yang bingung akan identitasnya. Tempat bersemayamnya banyak penderitaan yang dulu terasa amat mengenaskan.
Kunjunganku kali ini lebih terasa seperti napak tilas dan banyak rekonstruksi memori.
Berhari-hari aku tidak benar-benar bisa mengekspresikan apa yang kurasakan. Aku hanya menikmati hari-hari bersama keluarga, kawan-kawan dan sahabat yang ternyata banyak sekali kumiliki.
Aku terduduk. Menarik napasku yang tercekat haru. Aku baru ingat betapa besarnya berkat yang kuterima dalam hidupku. Bukan uang, harta, dan kuasa, tetapi kenyataan bahwa aku tidak pernah ditinggalkan.
Aku yang seringkali ingin meninggalkan jadi tak enak hati. Bukan…bukan sungkan. Ini seperti perasaan yang akhirnya berhasil menyingkap tabirnya sendiri.
Aku jadi tahu bahwa selama ini keruhku tak pernah benar-benar seluruh. Pun takut tak pernah sungguhan carut marut. Meskipun seringkali terasa akut, aku tidak pernah benar-benar larut.
Tahun ke tahun berturut-turut, aku sembunyi dalam sedihku sendiri. Karena kukira siapa yang mau berkawan dengan jiwa yang biru biru. Isi kepala yang lebam-lebam karena dihajar kebencianku sendiri… pada hidupku sendiri.
Aku tahu tak ada aroma hujan di Jakarta. Dulu ini adalah salah satu alasan yang memantapkanku untuk meninggalkannya. Aku tahu tak ada aroma hujan di Jakarta, hanya aroma debu dan kegigihan penduduknya.
Tapi kali ini, aku tahu tak ada aroma hujan di Jakarta, tapi ada aroma sayur pucuk ubi yang kunikmati sembari tertawa bersama keluarga. Tapi ada aroma matcha dan arabika yang kusesapi perlahan sembari menyimak kisah hidup sahabat lama. Tapi ada aroma pengharum ruangan otomatis yang terhirup wangi saat aku menikmati diskusi-diskusi segar yang memenuhkan hati.
Memori baik dan buruk mulai berkelindan, seperti wujud sesuatu yang mulai mencari bentuk baru. Di tengah prediksi-prediksi presisi bapak ibu supir taksi, tentang berapa menit lagi aku akan tiba di tujuanku, Jakarta membantuku kembali berpeluk seluk beluk.
Aku tahu aku masih tak sepenuhnya suka pada kemacetannya, aku tahu aku masih tak sepenuhnya suka pada hiruk pikuknya, tapi kali ini… sekali lagi aku seperti… tak keberatan. Seperti hatiku akhirnya berkenan mentoleransi.
Tak keberatan adalah vokabulari baru yang kudaftarkan dalam daftar panjang perasaanku terhadap kota yang dulu adalah rumah. Rumah yang sempat lama tak kusebut rumah. Rumah yang ternyata tak pernah pergi jauh dari tempatnya dahulu di hatiku.
Rumah yang sempat kutinggalkan, yang ternyata tak pernah meninggalkan.