Buat Sebagian Orang, Merasa Pulang Memang adalah Sebuah Kemewahan

My Little Cave
3 min readNov 30, 2020

--

Photo by Luke Stackpoole on Unsplash

Sebagai cerita pertama yang saya publikasikan, maafkan jika ini terasa terlalu melankoli untuk sebuah salam selamat datang.

Hari ini ingin rasanya menyapa kalian yang bisa merasa mudah berempati dengan judul tulisan ini. Seperti ada koneksi yang mungkin selama ini tidak kita sadari kehadirannya, mungkin sengaja tidak sengaja kita abaikan demi mampu melanjutkan kehidupan. Tapi hari ini, kita seperti diizinkan bertaut dengan sebuah memori yang mungkin kita sendiri baru sadar jika memilikinya.

Karena satu dan lain hal, mungkin banyak di antara kita tidak banyak berkesempatan merasakan pulang. Baik dalam makna literalnya ataupun konotatifnya. Baik dalam makna realistisnya ataupun arti romantisnya. Ada yang harus menahan-nahan rindu karena terpisah jarak geografis dengan yang terkasih. Mungkin karena tertahan kewajiban yang tidak mungkin ditinggalkan. Mungkin karena situasi saat ini yang memaksa kita untuk saling menjaga dengan tidak saling bertatap muka. Mungkin karena alasan lain yang mengharuskan kita sementara cukup bersua melalui doa.

Bagi sebagian lagi, rumah tidak selalu menjadi tempat yang aman dan nyaman. Tidak sedikit dari kita yang kesulitan menyebut rumah sebagai rumah. Meskipun telah mendewasa, tidak jarang kita masih harus berjuang untuk merasa berada di rumah, sekalipun sedang berada di tempat di mana kita dilahirkan dan dibesarkan. Dan tidak sedikit yang masih terus bertanya-tanya, sebenarnya seperti apa rasanya pulang, seperti banyak yang diceritakan orang-orang. Seperti apa rasanya bergembira ketika mudik, seperti apa rasanya suka cita dipeluk kampung halaman, seperti apa rasanya rindu karena tahu ada yang telah menunggu-nunggu.

Shoshana Zuboff, seorang sosiolog ekonomi yang juga seorang penulis yang romantis — setidaknya bagi saya — menulis sebuah kalimat yang begitu manis di salah satu bukunya. Sebuah kalimat yang mengingatkan kita bahwa ada alasan masuk akal yang mungkin membantu menjelaskan kehampaan yang kita sedang gumulkan. Begini kalimat yang ditulis Shoshana:

“Setiap mahluk perlu bertaut pada rumah. Sebuah titik asal di mana mereka bisa merasakan sebuah keberakaran. Tanpa keberakaran, kita tidak akan mampu bernavigasi di teritori yang asing. Tanpa keberakaran, kita hilang”.

Seperti bayi-bayi penyu yang baru menetas dari cangkang, lalu merangkak pelan ke lautan hingga menemukan kembali induk yang meninggalkannya di pantai, begitupun kita manusia. Akan tiba suatu waktu, di mana kita juga akan perlu kembali ‘merangkak’ perlahan mencari titik asal yang bisa kita sebut rumah. Titik tujuan di mana kita bisa merasa begitu nyaman menyebutnya sebagai sebuah perjalanan pulang.

Mungkin, pulang ke rumah yang nyaman dengan penerimaan yang hangat dan tanpa syarat, memang masih menjadi kemewahan. Tetapi, seiring kita mendewasa, perlahan kita mungkin menemukan makna dalam berbagai hal yang kita temui atau kita kerjakan. Mungkin kita juga bertemu dengan semakin bermacam manusia dengan segala kehangatan sekaligus pelajaran yang dibawanya. Suatu hari, mungkin justru pengalaman-pengalaman inilah yang pelan-pelan tersusun seperti ranting-ranting kecil yang menyusun sarang burung. Semakin lama, semakin terlihat seperti tempat bernaung nyaman. Semoga pada akhirnya, kita berkesempatan mendefinisikan ulang makna pulang

Semoga suatu hari, kita bisa mengatakan dengan hati yang tentram: Akhirnya, aku pulang.

--

--

My Little Cave
My Little Cave

Written by My Little Cave

The little cave where I embrace big feelings.

No responses yet