Dan Sepertinya Kita Telah Menang
Dulu aku hanya bisa bermimpi menyatakan cintaku semudah ini kepadamu, dan bukan hanya kepada harapanku, dan bukan hanya cintaku kepada gagasan dan asumsi tentangmu. Dulu aku hanya bisa bermimpi seringan ini memelukmu lekat sekali, melelehkan satu dua butir air mata rapuhku.
Dulu aku hanya bisa bermimpi mampu mengungkapkan rinduku. Dulu aku hanya bisa bermimpi menggenggam tanganmu dan duduk di sebelahmu, mendengarkan kisah-kisahmu, dari dirimu yang menderita, yang gembira, yang tragis, yang bikin meringis, yang lucu, yang membuat luluh, aku tidak tahu sebanyak ini lembaran cerita yang belum pernah kudengar darimu.
Dulu aku hanya bisa bermimpi mengeluh sedang sakit dan bermanja seperti anak-anak lainnya. Dulu aku hanya bisa bermimpi mengaitkan tanganku di lenganmu, sambil dengan ceriwis membanjirimu dengan cerita impian-impian dan ambisi-ambisi yang kurencanakan.
Dulu aku berperang atas perasaanku sendiri, menerka-nerka apakah akan pernah aku sanggup berbakti seperti yang dikisahkan dalam ceramah-ceramah ustadz dan ustadzah.
Dulu aku hanya bisa bermimpi akan waktu-waktu yang tenang dan menenangkan bersamamu. Meskipun sekali waktu otakku masih kewalahan dengan trauma yang lama dipikulnya. Kebingungan atas kenyataan baru yang tak pernah kami miliki sebelumnya.
Hari ini aku diingatkan bahwa meski terang bisa jadi menakutkan setelah ribuan minggu hidup dalam kegelapan, ini adalah indikasi cinta, indikasi sayang — yang perlahan menemukan kembali jalannya menuju cahaya hidup yang semula begitu lama redup.
Aku tidak pernah menganggap ini semua sebuah raihan yang perlu dirayakan. Tapi hari ini aku diingatkan bagaimana berdekade-dekade hidupku terbiasa membacamu dari lembaran-lembaran yang tak kusukai, lembaran-lembaran yang tak ingin kukunjungi kembali. Di saat yang sama, puluhan ribu jam mataku terpejam memutar adegan-adegan yang tidak aku inginkan. Entah berapa triliun detik terlewati dengan ketidaksanggupan untuk melihat masa depanku bersamamu, ketidakmampuanku untuk memahamiku dan memahamimu.
Selama itu kita terseok-seok mendefinisikan cinta seperti apa yang ingin kita pelihara. Selama itu kita terluka dan terkoyak berkali-kali atas perkataan yang sebenarnya tak ingin kita katakan, selama itu kita berseteru menghadapi perasaan sendiri-sendiri. Terlalu takut untuk saling menghampiri dan membasuh luka satu sama lain. Terlalu takut untuk saling mengakui bahwa sungguh kita masih saling menyayangi.
Dan seringkali sayang tak muncul dengan wujud yang menyenangkan.
Tak jarang sayang hadir dengan wujud yang menuntut ketangguhan dalam kekalutan, menuntut obrolan-obrolan yang sama sekali tak ringan, menuntut kesantunan dan penghormatan yang kadang terasa mustahil dilakukan.
Kita akhirnya sampai di sana, di mana perang tidak lagi menjadi satu-satunya interaksi yang kita miliki. Kita akhirnya sampai di sana, di mana aku bisa mencintaimu sepenuh hatiku, mengamati dan menyisir jari jemariku di lekuk-lekuk relief kehidupanmu, memeluk dengan khidmat penderitaan-penderitaan yang kau ceritakan.
Kita akhirnya sampai di sana, di mana aku nyaman merebahkan kepalaku di pundakmu, atau bersembunyi di dalam pelukanmu, menangis lama hingga hatiku tenang dan merasa terberkati. Sepertinya telah usai semua peperangan yang kita pergumulkan. Sepertinya telah usai ketakutanku atas perasaanku kepadamu. Sepertinya telah usai kekhawatiranku atas kemungkinan berbahagia denganmu.
Seperti katamu, kau memintaku hidup seperti berkendara, sembari sesekali melihatmu di belakangku, melalui spion-spionku. Sungguh ini adalah sebentuk kelegaan yang dulu hanya mampu aku doakan.
Sepertinya kali ini kita telah benar-benar menang.
Terima kasih telah mencintaiku dengan caramu, terima kasih telah setia memilih kembali berupaya dan berupaya kembali dan senantiasa berupaya selalu. Meski tidak ada yang bisa abadi berjanji di dunia ini, dan mari bersepakat untuk saling mengingat dan memberi pengingat, bahwa aku menyayangimu dan kau menyayangiku. Mari katakan, mari lakukan, mari sampaikan sebanyak yang kita bisa. Aku tidak ingin menyesal untuk kedua kalinya.
Kali ini mari mengizinkan kita untuk saling menyayangi dengan berapi-api. Kali ini mari mengizinkan segala kotor, rapih, keruh, dan jernih di antara kita. Aku tidak takut, dan engkau pun semoga juga begitu. Pun kita gemetar di hadapan takdir-takdir baru, mari saling menguatkan dan mendoakan. Aku mencintaimu. Semoga Tuhan menopangmu, membahagiakanmu, mendamaikan hatimu.