Ibu, Anakmu Kini Sanggup Menatapmu
Bertahun aku sempat tidak sanggup menatap ibuku, yang kini hadirnya hanya terasa melalui doa-doaku. Aku tak sanggup mengatakan pada ibuku, bahwa hidupku tak segembira yang didoakannya.
Aku tak sanggup mengakui, bahwa hidupku tak seindah yang diharapkannya. Aku takut ibuku kalut menatapku dari surga, mengira bahwa anaknya sungguh akan tak menyanggupi beban harapannya.
Aku sempat tidak sanggup menatap ibuku. Takut aku benar tak lagi dapat menemuinya, karena imanku yang ternyata tak sekuat itu, kesabaranku yang ternyata tak setebal itu, kekuatanku yang ternyata tak sekuat itu.
Tapi hari ini aku ingin cerita, Bu.
Kini anakmu sanggup untuk hidup.
Aku penasaran akan masa depan, Bu.
Dua kalimat yang tidak pernah kubayangkan akan kuucapkan dengan seringan ini. Temui aku beberapa bulan lalu, aku masih tak berani. Jadi bisa ada di titik ini, aku yakin adalah separuh usaha, sebagian keajaiban. Sebagian kegigihan, sebagian mungkin karena Tuhan sudah kasihan. Apapun itu, aku yakin sebagian besarnya adalah juga berkat doamu berdekade-dekade lalu, Bu.
Aku ingat pernah menangis kesakitan tidak tega jika Ibu menyaksikan aku hidup tak bahagia.
Bu, anakmu tak perlu berpura-pura bahagia lagi, Bu. Anakmu sekarang sanggup menyambut hidup yang menyenangkan.
Anakmu sudah tidak kesakitan.
Aku kembali ke masa remisi, Bu. Tujuh tahun berproses, dua tahun melapangkan hati menerima bantuan tambahan. Aku tak habis habis mengucapkan selamat datang pada diri-diriku yang satu persatu tak enggan merengkuh pelukanku. Kembali kami dipinjamkan harapan.
Ternyata ada baiknya kami tak menyerah terlalu awal. Ternyata ada bagusnya kami bersabar menunggu mereka yang membantuku, untuk lebih banyak belajar.
Dan juga menanti diriku sendiri mampu menemui kesempatan yang semula tak terkejar. Berulang kali mendaur ulang harapan akan masa depan.
Rasanya tidak percaya akhirnya bisa berdiri dengan percaya diri, dan menerima dengan lantang bahwa kami pulih. Terima kasih Tuhan! Terima kasih ilmu pengetahuan!
Rasa yang sama seperti ketika mampu bersepeda tanpa didorong nenek lagi. Rasa yang sama ketika bapak mengizinkanku mengendarai motor sendiri. Rasa terbebas dan tak terbeban yang sulit untuk diceritakan.
Aku merasa dipinjami nafas baru dalam hidupku. Bahkan jika penderitaan memutuskan untuk mampir, aku rasa kini aku lebih tak gentar. Jika nantinya pun aku akan kesulitan, aku tahu aku tak keberatan bertahan.
Aku selamat dari tahunan perasaan terisolasi di dalam kepalaku sendiri. Aku selamat sampai ke seberang. Aku selamat sampai tujuan, Bu.
Aku selamat hingga bisa jadi pengamat dari dunia yang dahulu kutinggali.
Semua bagian yang telah kutemukan, kini semua sedang merasa aman. Aku akan belajar terus tak pilih kasih mendengarkan satu demi satu pesan yang lama kuabaikan. Kusaksikan dan kugenggam erat, membantu sebagiannya lagi untuk mengingat bahwa kami tak perlu kembali ke masa-masa yang sulit.
Kini semua kembali ke rumah masing-masing, termasuk aku dan keluarga kecil di alam kepalaku. Mereka adalah teman-teman yang kini kumerdekakan dari beban untuk menyelamatkan. Mengalirkan, meletakkan, merelakan, menghanyutkan semua yang semula seperti ancaman yang terlalu lama tak rela dilepaskan. Rasa sakit yang selama ini terlalu berharga untuk diikhlaskan.
Makin hari teriakan yang biasa kami dengarkan, kian lirih, kian jauh, dan kian menghilang sembari melambai pergi. Kini kami lebih banyak berpelukan dan memberi dukungan.
Aku kini mampu menatap mata ibuku. Meyakinkannya bahwa kali ini sungguh aku akan baik-baik saja.
Mengucapkan perpisahan yang tak mampu kusampaikan di hari wafatnya maupun di hari-hari setelahnya. Tapi hari ini aku sanggup menatap mata ibuku dan berucap jika Tuhan mengizinkan, mari bertemu kembali di surga.
Tenang saja, Bu. Kini aku sanggup untuk berusaha. Doakan aku, ya. Kuharap kali ini pulihku cukup lama. Semoga hingga aku lupa aku pernah berada dalam situasi yang sebegitu sedihnya. Sampai jumpa.