Kemarin Seharusnya Ibuku Berulang Tahun

My Little Cave
6 min readAug 17, 2023

--

Ibuku meninggal di usia yang cukup muda, hanya berjarak 9 tahun dari usiaku saat ini. Seharusnya kemarin ibuku berulangtahun, tapi aku tidak bisa membelikannya kue tart atau tas yang sedang diinginkannya. Tapi aku tidak bisa mentraktirnya makan di restoran favoritnya, tapi aku tidak bisa memayunginya ketika ia merawat tanaman-tanaman kesayangannya. Seharusnya kemarin ibuku berulang ahun, tapi aku tidak bisa merayakannya.

Photo by Angèle Kamp on Unsplash

Kemarin seharusnya ibuku berulangtahun, dan aku hanya bisa mengunjungi pemakamannya. Pemakaman yang 16 tahun sejak kepergiannya, sekarang sudah ramai sekali. Kubaca satu persatu nisan yang kulewati, bertuliskan nama-nama tetangga kami yang dulu sering kusapa dan kukunjungi. Pada akhirnya mungkin suatu hari namaku juga akan ada di situ. Siapa tahu aku akan mati di mana. Tapi yang aku selalu tahu, pada akhirnya semua yang hidup akan berakhir juga.

Saat berjalan pelan setapak demi setapak sembari menghormat salam kepada para ahli kubur yang kulewati tempat peristirahatannya, air mataku menyeruak. Kali ini bukan air mata sedih. Mungkin iya, tapi air mata sedihku sudah kering beberapa tahun lalu. Ini adalah air mata kemarahan. Air mata kegeraman.

Rasa duka memang lucu sekali. Sebuah kombinasi sekoleksi perasaan yang mendalam dan tak hilang oleh waktu. Ia hanya berubah bentuk sepanjang waktu. Kadang ia berupa rasa rindu, rasa sedih, rasa takut, rasa kesepian, rasa ditinggalkan, rasa diabaikan, rasa cinta yang besar, rasa bergantung, rasa tak mau tau, mati rasa…semua jadi satu dalam rasa duka. Dan kali ini yang muncul di permukaan bagiku adalah rasa marah.

Orang-orang selalu banyak berdebat dan berdiskusi tentang anak kecil dalam diri yang terluka. Kurasa anak kecil dalam diriku kini sudah tak apa-apa. Akhirnya aku berhasil meyakinkannya bahwa aku dapat melindunginya. Kukira aku sudah selesai dengan drama kepalaku ini. Ternyata tidak.

Kemarin seharusnya ibuku berulangtahun. Dan diri remajaku beberapa hari ini tiba-tiba ingin mengambilalih kemudiku. Diri yang begitu diam, namun sebenarnya sangat marah. Diri yang sok pemberani, namun sebenarnya sangat ketakutan. Diri yang tak punya nyali untuk melukai dirinya sendiri karena khawatir akan melukai orang di sekitarnya — yang sebenarnya telah melukainya berkali-kali. Diri yang merasa sendirian, yang merasa dirinya hampir transparan dan tak terlihat di dunia.

Kukira aku sudah selesai dengan pertanyaan “mengapa begini?”. Ternyata tidak. Diri remajaku yang tidak tahu harus apa itu, tiba-tiba berteriak kencang sekali dalam kepalaku.

“Kenapa ibu harus mati muda? Kenapa ibu tidak menjaga kesehatan lebih baik? Kenapa ayah harus selalu bekerja? Kenapa tidak ada orang dewasa di rumah ketika ibu butuh harapan? Kenapa tidak ada yang mengajariku cara untuk menolong ibuku?

Kenapa semua orang berbohong katanya ibuku baik-baik saja? Kenapa ketika ibu mulai terlihat bisa berbahagia untuk dirinya, ibu pergi cepat sekali? Apa aku kurang berharga untuk ditunggui hidupnya sampai dewasa?”

Diriku yang remaja terlihat kesakitan sekali. Ia sempat merasa dikhianati dunia. Ia sempat merasa tidak disayangi Tuhan. Ia sempat berfantasi untuk pergi saja sejauh-jauhnya.

Kemarin seharusnya ibuku berulangtahun. Sambil membersihkan daun-daun bambu yang jatuh di atas makamnya, dan melap nisannya yang berdebu dengan tisu, diriku yang dewasa muncul kembali. Diri yang sudah paham bahwa takdir terbagi menjadi dua. Yang telah ditentukan, dan yang masih bisa diupayakan. Diri yang menyadari bahwa kematian adalah kategori takdir yang pertama. Manusia bisa saja berencana ingin mati, tapi urusan apa benar mereka akan kehilangan nyawa, itu ada di tangan Tuhan sepenuhnya. Sebuah prinsip yang selama ini menyelamatkanku: iya kalau mati, kalau tidak? Bukankah malah jadi merepotkan sekali?

Kemarin seharusnya ibuku berulangtahun. Aku jadi teringat lagi pertama kalinya aku benar-benar dihantam kehilangan. Bukan tepat pada hari ibu berpulang, karena aku anak perempuan pertama. Secara natural, aku lebih sibuk menenangkan semua orang daripada menghadapi rasa dukaku sendiri. Air mataku tidak menetes sama sekali hingga 24 jam kemudian. Saat aku sendirian sehabis sholat, dan seorang keluarga menemukanku tersedu dan kamipun berpelukan.

Kemarin seharusnya ibuku berulangtahun. Tiba-tiba sebuah memori mendesak ke kepalaku. Ingatan ketika aku terduduk di sekolah, mengenakan seragam SMP-ku. Menggenggam ponsel yang tadinya milik ibuku. Menggumam dalam hati bahwa jika aku menelepon nomor ini, tidak ada lagi ibu yang mengangkatnya di ujung seberang. Jika aku ingin bertanya sesuatu, kepada siapa aku harus menelepon sekarang?

Sungguh rasanya seperti kemarin baru terjadi.

Kukira duka akan mengering setelah dua windu. Ternyata yang ada dukaku tetap menganga karena rindu. Rindu yang tidak lagi punya tujuannya.

Pagi ini diriku yang dewasa menangis sesenggukan. Menyadari betapa aku yang remaja itu selalu merasa sendirian. Sekalinya meminta pertolongan, orang lain terlihat lebih kesakitan. Sehingga ia mundur lagi. Ia berlagak lebih kuat lagi.

Aku kasihan melihat dia hilang keseimbangan. Kukatakan padanya seperti ini: “Kamu tetap berjalan, ya. Aku akan lindungi. Kamu jangan menyakiti dirimu, ya. Di masa depan aku siapkan semua yang kamu sukai. Kamu suka belajar, kan? Kita akan belajar di tempat-tempat terbaik. Ini menakutkan, tapi kamu tetap berjalan, ya. Biar kamu aku lindungi. Aku akan pastikan kamu dapatkan semua dukungan yang kamu butuhkan. Kita kumpulkan orang-orang yang dapat memberi bantuan. Kamu terus berjalan, ya. Kita bertemu di masa depan. Biar kamu aku lindungi”.

Entah dia bingung atau enggan mengerti. Rasa duka memang irrasional sekali. Kiamat kecil bagi yang ditinggalkan dengan masih menggenggam sebongkah cinta yang kini kehilangan objeknya. Semua harapan mendadak seperti palsu. Semua hiburan terasa getir. Dibumbui banyak penyesalan dan rasa bersalah. Bertahun-tahun seperti itu, kukira akan mereda sepenuhnya.

Ternyata duka hadir seperti gelombang, mungkin seumur hidup hanya akan menjadi pasang dan menjadi surut. Kukira aku akan tidak kesakitan lagi, ternyata aku hanya lebih mampu menoleransi.

Aku membayangkan memeluk diriku yang remaja itu dan membiarkannya menangis sampai sesak dan membasahi pundakku. Tidak banyak yang membiarkannya melakukan itu dulu, tapi kini aku ingin memberitahunya bahwa aku akan terus melindunginya. Bahwa aku kini sudah betulan lebih kuat dan lebih mampu untuk menerima semua amarahnya, rasa sakitnya, frustrasinya, rasa ingin menyerahnya, rasa kehilangannya yang entah berapa ton di pundaknya itu. Sama seperti aku kini lebih berani untuk mendengar semua ambisinya, cita-citanya, kebanggaannya, keiinginannya yang kuingat-ingat lagi ternyata tinggi juga.

Photo by Liz Fitch on Unsplash

Aku ingin meyakinkannya bahwa kini ia di tempat yang aman. Apapun perasaan yang dibawanya, aku akan selalu punya ruang untuk itu semua, jadi tidak apa-apa. Menangislah yang banyak, tertawalah yang keras, tidak ada yang akan memarahinya. Menjadi egoislah, menjadi rapuhlah. Menjadi beranilah, menjadi takutlah. Menjadi yakinlah, menjadi ragulah. Aku akan selalu ada di sana. Mengamati dari kejauhan, jaga-jaga jika ia butuh pelukan.

Kemarin seharusnya ibuku berulangtahun. Ternyata aku tidak hanya berduka untuk ketiadaannya. Aku juga berduka atas hidup yang seharusnya kami miliki hari ini. Aku ternyata juga berduka karena tidak akan bisa mengundang ibuku ke wisudaku, aku juga berduka karena tidak bisa menangis minta kelon karena lelah bekerja, aku juga berduka karena tidak bisa minta kerokan ketika kecapean, aku juga berduka karena tidak bisa menggosipkan pacar adikku, aku juga berduka karena kelak tidak bisa melihat ia memberi restu pada pernikahanku, atau menawarkan diri untuk mengasuh anakku saat mau berkencan merayakan ulang tahun pasanganku.

Di saat yang sama aku lega ibu tidak harus melihatku pergi mendahuluinya. Di saat yang sama aku lega ibu tidak kesakitan lagi. Di saat yang sama aku lega ibu tidak perlu merasa kesepian lagi. Di saat yang sama aku tenang karena ibuku baik dan disayang semua orang.

Aku akan protes pada Tuhan jika ibuku tidak masuk surga dan dibahagiakan sebanyak yang Tuhan bisa. Sepanjang hidupnya, aku tidak banyak ingat momen ibuku terlihat sangat bahagia bagi dirinya sendiri.

Sepanjang hidupnya ibuku selalu tersenyum untuk orang lain yang dikasihinya, menjadi penolong bagi semua orang, kecuali bagi dirinya sendiri.

Semoga penduduk surga kini memeluknya setiap hari dan semoga Tuhan sesekali menyampaikan salamku bahwa aku menyayanginya. Selamat ulang tahun, Bu. Aku berdoa semoga aku bisa menghabiskan hidupku cukup beriman atau setidaknya hingga Tuhan kasihan, dan membiarkanku masuk surga begitu saja karena iba. Semoga suatu hari kita bertemu lagi, dan karena itu aku akan berupaya sebisaku untuk tidak mendahului takdirku.

Bu, untuk sementara, mungkin aku tidak bisa berjanji hidup sebahagia yang ibu bayangkan. Manusia mana yang sanggup berjanji jadi bahagia, setelah kehilangan dan bertahun-tahun berduka. Tapi aku berjanji akan terus menemukan cara lagi dan lagi untuk menolong diriku, sehingga aku bisa merawat hidupku dan hidup orang-orang yang ibu kasihi. Bea kirim doa, ya, Bu. Kalau memang cukup, bagi saja cahayanya dengan teman-teman ibu di sana. Semoga lapang dan terang jalanmu, Bu. Aku sayang ibu.

--

--

My Little Cave
My Little Cave

Written by My Little Cave

The little cave where I embrace big feelings.

No responses yet