Kita Tidak Bisa Merencanakan Kemarahan atau Kekecewaan, Lantas Kenapa Ingin Merencanakan Kebahagiaan?

My Little Cave
3 min readJul 14, 2022

--

Hari ini hariku berakhir cukup singkat dan cepat. Tidak terlalu banyak pekerjaan yang harus aku selesaikan. Aku jadi bisa makan malam agak melambat-lambatkan setiap kunyahan, sembari mendengarkan sebuah video apapun yang muncul di beranda YouTube. And I came across a TEDx video dari seorang psikiater kondang, dr. Jiemi Ardian, Sp.KJ.

Photo by Priscilla Du Preez on Unsplash

Dalam video tersebut, beliau membahas bagaimana keinginan menjadi bahagia seringkali menjebak manusia dalam perspektif selalu ingin merencanakan masa depan. Sayangnya, keinginan merencanakan masa depan ini seringkali dibarengi keinginan untuk selalu bisa mengontrol perasaan, khususnya yang berkaitan dengan rasa bahagia.

Memang panggilan alami manusia untuk mengarah pada hal-hal yang lebih menyenangkan, menguntungkan, meringankan, memudahkan. Tapi, yang menjadi masalah adalah bagaimana dunia moderen telah banyak mendorong dan mendukung gagasan seolah mencapai kebahagiaan haruslah memiliki preseden yang kasat mata alias tangible. Perasaan bahagia seolah harus didahului sesuatu yang dapat dimiliki dan digenggam, atau dilihat secara fisik.

Itu kenapa kemudian banyak orang berpikir bahwa mereka yang paling bahagia adalah mereka yang memiliki barang-barang yang terlihat mata, teman-teman yang terlihat berada di sekitarnya, keluarga atau pasangan yang terlihat ideal atau romantis atau harmonis. Intinya, segala sesuatu yang dapat ditangkap oleh indera penglihatan manusia lainnya. Atau lebih gamblangnya lagi, yang dapat dipamerkan di hadapan individu lainnya.

Photo by Joeyy Lee on Unsplash

Dan karena kebahagiaan jadi sering dimaknai sebagai memamerkan kepemilikan, kita memperlakukan kebahagiaan seperti target penjualan, yang jika tidak terpenuhi bisa menyebabkan kebangkrutan perusahaan. Atau dalam konteks pembicaraan ini, seolah jika tidak bahagia, ini bisa menyebabkan bencana kehidupan. Hmm.. terdengar ekstrim juga, ya.

Yang menarik dari pembahasan dr. Jiemi dalam video TEDx tersebut adalah, beliau mengatakan bahwa bahagia merupakan sebuah perasaan, sama halnya seperti rasa marah atau rasa kecewa. Kurang lebih isinya seperti ini:

“Apa kita bisa berpikir seperti ‘aku mau marah habis ini, 3 menit lagi’ atau ‘aku mau kecewa sebentar lagi, 3 menit lagi’? Tentu tidak bisa.

Karena perasaan adalah sesuatu yang dirasakan saat ini juga, bukan yang dirasakan di masa depan. Begitupun dengan kebahagiaan, yang juga adalah sebuah perasaan”.

Jika bahagia adalah perasaan, berarti ia memiliki karakteristik yang mirip dengan kemarahan, kesedihan, atau kekecewaan. Kebahagiaan berarti juga adalah sesuatu yang spontan dan terjadi sebagai respon segera dari suatu kejadian saat ini. Artinya…bukankah agak tidak masuk akal jika mengharapkan bahagia bisa menjadi tujuan atau garis finis dari kehidupan?

Rasanya agak absurd mengharapkan sesuatu yang naturnya spontan untuk dipaksa menjadi bisa diada-adakan bahkan ‘dipesan’ untuk masa depan.

Maybe happiness is overrated. Maybe it’s just not such a big deal. Mungkin justru kebahagiaan tidak sespesial itu hingga harus dijadikan tujuan perjalanan hidup.

Mungkin memang bahagia sifatnya datang, pergi, dan mampir sesukanya saja. Bukan sesuatu yang perlu disandera, bukan juga sesuatu yang bisa digadang-gadang menjadi kepastian masa depan.

Tidak ada asuransi kebahagiaan. Kalaupun ada mungkin preminya tidak bisa dibayar dengan mata uang apapun di dunia ini. Mungkin tidak apa-apa juga punya kehidupan yang tidak selalu membahagiakan. Mungkin kebahagiaan adalah sebatas sesuatu yang bisa disyukuri, disambut ketika hadir, dan direlakan ketika pergi. Kehadirannya boleh dirindukan, tapi tidak perlu sampai dikultuskan.

Jika ada daftar sesuatu yang konstan di dunia ini, perasaan bukanlah salah satu dari isinya. Dan mungkin sudah waktunya merelakan bahwa kebahagiaan, merasa bahagia, membahagiakan, dibahagiakan, adalah hal-hal yang sebaiknya tidak di overglorifikasi.

Sebagai seseorang yang dititipi kehidupan di mana kebahagiaan seperti senang bermain petak umpet di dalam kepalaku, ide ini bagiku justru membawa kelegaan. Ternyata aku tidak wajib selalu bahagia, sekalipun ketika sedang mengalami atau mendapatkan sesuatu yang konon katanya harusnya menjadi sumber kebahagiaan. Dan sebaliknya, aku juga boleh bahagia, meskipun tidak sedang memiliki sesuatu yang katanya bisa menyebabkan kebahagiaan.

Ternyata aku tidak harus jadi bahagia hanya agar berhak menganggap hidupku cukup berharga untuk dilanjutkan dan dijalani sampai akhirnya.

--

--

My Little Cave
My Little Cave

Written by My Little Cave

The little cave where I embrace big feelings.

No responses yet