Kita Tidak Lagi Mengucap Selamat di Hari Lahirku dan Hari Lahirmu.
Siapa yang menduga kini kamu kembali memanggilku dengan nama pertamaku, dan bukan nama masa kecilku. Aku pun kembali memanggilmu dengan sebutan penghormatan, seolah kita tidak pernah berbagi kegelisahan dan beberapa tangisan.
Sekarang jika bertemu, kita hanya berjabat tangan layaknya kolega, dan tidak lagi berpelukan berbelas-belas detik. Tapi sejujurnya saat kita berjabat tangan, ada sebersit gagasan — setidaknya yang aku rasakan sendirian — bahwa aku merindukan kita.
Pertemanan ternyata juga sebuah perjalanan yang dapat berujung, dapat berakhir, bahkan ketika tidak ada hal pasti yang menyebabkan. Kurasa kita hanya sama-sama tidak lagi sempat memelihara apa yang dulunya berharga bagimu dan bagiku, bagi kita. Kita tidak lagi memberi waktu pada apa yang dulu kita dahulukan. Kita tidak lagi saling mengupayakan.
Pahit, tapi kadang perpisahan memang sesederhana itu.
Aku mengenalmu, dan kamu mengenalku, tanpa mengira usia kedekatan itu ternyata berbatas waktu. Kita tidak pernah berkenalan sembari berencana akan berpisah suatu hari.
Tapi tidak apa-apa, mungkin memang sejauh itu usia masa kita bersama. Tidak mengubah kenyataan bahwa ada waktu yang kita pernah habiskan, marah-marah bersama yang pernah kita ungkapkan, lelucon-lelucon yang bersama kita tertawakan. Semua tidak terbatalkan hanya karena persahabatan pada nyatanya bisa berakhir menjadi kecanggungan.
Orang baru, kawan baru, sahabat baru silih berganti dalam hidupmu, dalam hidupku. Sebagian terseleksi tanpa sengaja, seiring bergesernya nilai-nilai yang kita anut dan kita percaya. Tersaring tanpa tekanan, terjadi begitu saja.
Sesederhana aku sudah menjadi orang yang berbeda, dan kamu juga bertumbuh menjadi pribadi yang benar-benar baru. Tidak ada yang salah dari perpisahan dalam persahabatan. Tidak ada yang salah dari akhir di mana kita kemudian berpisah jalan.
Masih ada namamu dan tanggal ulang tahunmu di kalender tahunanku. Masih ada memori pesan-pesan instan darimu di dalam telepon genggamku. Masih juga ada bingkisan-bingkisan lucu yang pernah kamu kirimkan sebagai kejutan.
Di sisi lainnya, mungkin aku yang tak cakap berteman. Aku sepertinya yang tak pandai membalas ketulusan. Maafkan aku, ya. Seandainya saja aku jadi teman yang lebih mampu belajar menjaga hubungan, mungkin kita masih saling mengunjungi dan belajar saling memahami.
Tapi sepertinya memang kita sudah sama-sama memutuskan untuk berpisah jalan. Secara alami, kita jadi mulai berjauhan, meski tak sempat berpamitan. Terima kasih sudah pernah memberikanku kesempatan yang menyenangkan, dan memperbolehkanku menjadi seorang teman.
Meski kita tidak lagi bercakap hingga pagi, meski kita tidak lagi saling mentraktir lalapan, atau saling bertanya kabar karena tiba-tiba merindukan, aku mendoakan kebaikan bagimu dan masa depanmu. Meski tidak lagi berteman, aku akan selalu menjadi pendukung setia akan gebrakan-gebrakan dan keberanian-keberanianmu melawan ketimpangan dan ketidakadilan.
Dan jika suatu hari, kamu tertarik untuk memulai kembali, datanglah dan mari kembali berpelukan. Kamu selalu tahu di mana dapat menemukanku, di mana menemukan kita dan cerita-ceritanya yang baru. Tapi kalaupun tidak, terima kasih untuk kenangan-kenangan yang menyenangkan, yang menyebalkan, yang mengharukan, yang mengesalkan, dan yang menguatkan. Sehat selalu buatmu. Sampai jumpa di lain waktu.