Kukira Aku Ingin Menghilang, Tapi Ternyata Aku Hanya Ingin Ditemukan
--
Aku sedang tidak merasa antusias tentang hidupku sendiri. Ada perasaan gagal, bersalah, marah, sekaligus tidak tahu harus bagaimana. Rasanya seperti ada lomba tarik tambang di kepalaku, antara diriku yang menerima dan diriku yang belum menerima, bahwa mungkin ini adalah jalan yang sementara harus kulalui.
Memikirkan apa poin dari semuanya, apa ujung dari jungkir balik ini semua, sekaligus aku takut sekali jangan-jangan aku saja yang kufur nikmat. Aku mengakui kenikmatan demi kenikmatan, kesenangan demi kesenangan. Tentu saja. Bagaimana bisa aku mengabaikan keindahan dan berkat demi berkat yang Tuhan berikan. Di saat yang sama, kepalaku bilang kalau mungkin tidak ada lagi yang bisa membuatku sebahagia itu. Mungkin kapasitasku untuk berbahagia harus kusyukuri hanya bisa sampai seluas ini saja.
Sore tadi tiba-tiba aku teringat sebuah memori, ketika aku tidak sengaja melukai tanganku karena berusaha membuka kaleng tuna sendiri. Tiba-tiba aku teringat bagaimana ayahku melihatnya sambil bergidik ngeri sekaligus sedih, dan buru-buru membantuku untuk mengobati lukaku. Aku tidak punya nyali dan tidak punya hati jika sampai harus melukainya lebih dalam lagi. Luka kecil karena kaleng tuna saja ayahku terlihat begitu bersedihnya, bagaimana jika aku terlampau ceroboh melakukan hal yang lebih jauh lagi. Ternyata, aku…tidak tega.
Agak sulit menjelaskannya, tapi aku merasa sedang sangat kesakitan. Bukan rasa sakit yang terlihat dan mudah untuk diperban karena kelihatan. Aku sendiri bahkan sudah tidak tahu rasa sakit ini berasal dari mana lagi. Rasanya seperti berpendar ke mana-mana. Aku telah diajari cara merelakannya untuk lepas dan hanyut ke udara. Tapi aku tahu ini akan butuh waktu. Jelas sekali ini akan butuh waktu.
Kukira kali ini aku sudah cukup tangguh. Ternyata aku sendiri bahkan tidak tahu apa artinya tangguh; lebih tepatnya aku tidak tahu apakah tangguh punya batas umur atau bisa jadi basi suatu hari.
“Kenapa bisa semenakutkan ini, ya?”.
“Oh tentu saja bisa, tentu bisa semenakutkan ini”.
Dua kalimat itu adalah sebagian perbincanganku dengan seorang profesional yang kali ini sedang membantuku. Ternyata aku sedang ketakutan. Aku takut semua proses yang selama ini kuupayakan runtuh begitu saja. Tidak seketika, tapi pelan-pelan kusaksikan sambil diam-diam ikut runtuh.
Menggoda sekali untuk menghakimi diriku sendiri dan mengatakan “Apa yang salah denganku ini? Mengesalkan sekali”. Di sisi lain, aku tahu tidak ada orang yang merencanakan untuk bersedih berkepanjangan, bukan? Siapa yang mau tergulung setiap hari oleh air matanya sendiri yang bahkan sudah tidak jelas lagi apa yang ditangisi.
Menariknya, membicarakan ketakutanku ini ternyata sangat membantu. Jantungku yang tadinya berdegup kencang sekali hingga nyaris membuatku gila setiap hari, tiba-tiba tenang dan tidak menggangguku lagi. Tubuhku juga sepertinya sudah lama merindukan kantuk yang tidak mencemaskan, dan hari ini beberapa kali aku menemukan mataku terpejam sejenak ketika sedang duduk di kursi penumpang.
Aku kira aku ingin menghilang, tapi ternyata aku hanya ingin ditemukan.
Percakapan yang tidak lama bahkan kurang dari setengah jam, membantuku merasa bahwa aku tidak benar-benar sudah menghilang dari radar hidupku sendiri. Bahwa aku boleh bersedih sebanyak yang aku mau, menangis sebanyak apapun yang aku butuh, asal aku tetap teguh untuk bernafas. Dan itu cukup untuk saat ini.
Sepertinya kali ini bakatku yang luar biasa untuk selalu ingin menyenangkan orang lain, rupanya sedikit membantuku. Setidaknya, aku tidak ingin mematahkan hati orang-orang yang sudah membersamaiku kemudian melihat aku memilih menyerah ketika aku masih punya banyak pilihan lainnya. Setidaknya dengan melakukan apa yang semampuku dapat kulakukan, aku tidak ikut menghisap habis harapan orang-orang yang telah mempercayaiku.
Aku sendiri paham sekali bagaimana hidup dengan harapan yang hidup mati. Bagaimana bisa aku tega membiarkan harapan orang lain mati sama sekali karena pilihan egoisku sendiri?
Hampir satu dekade, jalan setapak yang kadang terjal kadang mulus. Kadang suram, kadang indah. Kadang gelap sekali, kadang diterangi matahari sepanjang hari. Kali ini aku berada di dalam terowongan lagi, entah yang keberapa kalinya. Tapi kali ini aku mengizinkan diriku untuk digandeng lebih erat lagi dan ditarik perlahan sambil sesekali berhenti mengejar nafasku sendiri. Aku telah banyak berhasil melaluinya berkali-kali, kurasa kali ini tidak akan berbeda. Semoga benar demikian.