Lebaran adalah Hari Memperingati Rasa Berduka

My Little Cave
3 min readApr 13, 2023

--

Photo by Rebecca Peterson-Hall on Unsplash

Ini sudah hampir dua dekade ibu pergi. Tapi rinduku masih terus sama setiap hari. Ada masa-masa pikiranku dipenuhi banyak bayangan “seandainya”. Kadang aku ingin sekali bisa menelepon nomor ibuku seperti dulu setiap kali ingin menanyakan pergumulan dalam hidupku. Aku masih ingat sekali nomornya satu per satu. Tapi aku tahu bukan ibuku yang sekarang akan mengangkatnya, tapi orang lain yang sudah membeli nomor tersebut sejak sekian lama.

Berduka adalah perasaan yang sulit sekali dibayangkan oleh mereka yang tak pernah melaluinya. Sedangkan bagi yang berduka, perasaan ini adalah salah satu emosi yang tidak memiliki cukup kosakata dalam bahasa manapun.

Dan karena itu menceritakan rasa berduka lebih banyak diterjemahkan dalam bentuk air mata dan lembaran tisu yang bertumpuk-tumpuk. Sebagian lagi mewujudkannya berupa doa-doa panjang yang melengking dalam hening. Yang mungkin malaikat ikut menyeka ujung matanya ketika mendengar doa mereka yang sedang berduka.

Nenekku selalu berkata bahwa mereka yang meninggal dunia memang akan sudah berakhir hidupnya. Begitu saja. Kadang secepat dan seketika waktu yang tidak pernah kita duga-duga. Tapi di sisi Tuhan, Tuhan sudah lama mengetahui waktu itu akan tiba kapan dengan pasti. Karena semua tertulis sesuai janji, Tuhan tidak akan terkejut sama sekali. Tapi bagi yang sedang ditinggalkan, kehilangan akan selalu menjadi kejutan yang secara konstan menyakitkan.

Melarang yang berduka untuk berhenti menitikkan air mata adalah perbuatan yang jahat sekali. Melarang yang berduka untuk segera melupakan adalah sebuah kekejaman. Menghina yang berduka karena hanya bisa tertatih perlahan untuk melanjutkan kehidupan meskipun berdekade-dekade telah berlalu adalah tindakan yang tidak tahu malu.

Lebaran ini meski hampir selalu sama gegap gempitanya, bagi beberapa adalah pengalaman pertama tidak merayakan bersama orang yang mereka kasihi. Atau bisa jadi, peringatan satu tahun bertambahnya usia perpisahan yang mereka telah lalui.

Meski sudah melewati lebih dari 17 lebaran tanpa ibu, kadang aku sendiri masih sering berandai-andai. Seandainya waktu itu aku telah lebih dewasa. Seandainya aku telah semapan ini. Mungkin aku bisa lebih banyak menolong dan mendukung ibuku. Tapi kematian tidak pernah bekerja dalam rangka berpikir manusia. Hanya Tuhan dan malaikat pencabut nyawa yang mungkin sepenuhnya paham dan mengerti.

Duka adalah emosi yang berlapis dan berlipat dari waktu ke waktu. Meski semua mengatakan untuk mengikhlaskan, melepaskan, bahkan melupakan, pada akhirnya duka sebenarnya seperti ransel perasaan yang kemudian kita bawa sepanjang hidup.

Semakin lama mungkin kita semakin bisa merasa bahwa rasa sakitnya sedikit demi sedikit jadi lebih tertahankan. Tapi tidak hilang, dan tidak pernah benar-benar pergi.

Berbelas-belas tahun berduka, membuatku samar-samar mengingat seperti apa suara ibuku. Jika tidak dibantu foto dan kenangan yang kumiliki semasa hidupnya, mungkin memoriku juga kian samar-samar mengingat seperti apa parasnya. Tapi aku tidak akan pernah melupakan pelukan, penerimaan, dan harapan yang senantiasa ibu berikan setiap hari.

Photo by Caroline Hernandez on Unsplash

Di usia yang tidak jauh berbeda dari usia ibuku ketika melahirkanku, aku kini jadi memahami betapa Ia telah berjuang hingga batas kemampuannya. Menjadi seorang tua yang hampir tanpa teladan dan tempat bersandar. Menjadi seorang ibu yang hampir tidak punya ruang untuk mengeluh dan memperbolehkannya untuk merasa kecil; aku bisa lebih memahami air mata yang diusapnya diam-diam saat menidurkanku.

Aku kini bisa mengerti saat ibu runtuh di depanku, terlihat begitu rapuh berusaha menjaga kewarasannya sendiri.

Menyaksikan itu semua berlalu di depan mataku, tidak ada doa yang lebih ingin kupanjatkan daripada meminta Tuhan membahagiakan ibuku. Memberinya kenyamanan dan rasa aman yang tidak pernah sepenuhnya Ia dapatkan semasa hidupnya. Dan semoga Tuhan mengizinkannya dipeluk orang-orang baik di atas sana, yang selalu membisikkan di telinga ibuku bahwa kini semua baik-baik saja.

Sembari aku menunggu waktuku sendiri, dan selagi aku masih bisa berdoa kepada Tuhanku, aku berharap kelak berakhir pantas kembali berkumpul dengan ibuku dan mengucapkan aku menyayanginya sepuas hatiku.

Selamat lebaran, Bu. Salam rindu.

Ditulis pada 10 hari terakhir Ramadhan 1443 Hijriah.

--

--

My Little Cave
My Little Cave

Written by My Little Cave

The little cave where I embrace big feelings.

No responses yet