Memang Ada Ruang yang Hanya Bisa Diisi Tuhan
Ada banyak hari di mana aku terbangun dengan kepala yang bertanya-tanya apakah aku betul menerima versi diri yang hidup bersamaku seperempat tahun belakangan.
Ada banyak hari di mana aku bangun dengan nafas yang tidak tenang. Dengan badan yang masih lelah tapi menolak untuk kembali lelap. Bersama hati yang bersyukur karena masih boleh bangun kembali, sekaligus pikiran yang penasaran jika kami akan bertahan hingga penghujung hari.
Aku dan segala sisi manusiawiku tidak jarang kesulitan memahami keruwetan semesta di luar dan di dalam diriku sendiri. Tidak terhitung jari, waktu-waktu ketika aku diliputi kemarahan atas hal-hal yang sebenarnya di luar genggaman. Lain waktu, karena rasa mengeringnya makna dari hal yang kukerjakan.
Lain hari, karena rasa tidak mampu mengampuni diri sendiri. Dan kadang… karena kilas balik memori yang menyakitkan atau kunjungan ke masa depan yang tidak aku inginkan.
Segala hal yang membuatku bertanya-tanya lagi dan lagi, apakah aku akan pernah bisa mempercayai diriku kembali.
Satu hal yang biasanya menyelamatkanku di pagi-pagi seperti itu: sholat subuh. Ritual yang mengingatkanku setiap pagi, bahwa aku tidak pernah berjalan sendirian. Bahwa ada kuasa yang melampaui keraguan dan ketakutanku akan keburukan-keburukan yang mungkin kubuat sendiri. Ada kekuatan yang siap menangkapku kapan saja ketika aku rubuh terhempas jalan-jalan hidup yang kupilih dengan kedangkalan akal pikiran dan emosiku. Menikmati menit-menit yang menyadarkan bahwa aku memang tidak diciptakan untuk bergantung pada diriku sendiri.
Ketika jiwa sedang luka seluka-lukanya, sholat subuh adalah 10 menit yang selalu terasa panjang. Merasakan pijakan kaki yang ditegar-tegarkan di hadapan Tuhan. Membungkuk menghantarkan segala hormat yang bisa kupersembahkan, sembari berharap penderitaan ikut berguguran setidaknya sampai aku tegak kembali. Menikmati bersatunya dahi dengan bumi, yang dulu menjadi awal penciptaan manusia dan kelak juga menjadi rumah berpulang semua makhluk. Terduduk sejenak sembari merapal pujian, permohonan untuk diampuni, untuk dilindungi, untuk diberi petunjuk, untuk…dikasihani. Untuk dikasihani. Untuk di-kasihan-i. Sebuah permohonan yang tidak akan pernah sanggup kuajukan kepada manusia lainnya.
Meresapi beberapa saat, bahwa menjadi lemah adalah salah satu hakikat kehidupan yang Tuhan sengajakan…
Menghayati sejenak paradoks paling indah seluruh alam. Bahkan ketika para malaikat ‘mengingatkan-Nya’ bahwa manusia hanya akan berbuat kerusakan,Tuhan teguh membanggakan keputusannya menjadikan manusia pemimpin di muka bumi. Mendeklarasikan di hadapan makhluk-makhluk lainnya bahwa manusia adalah sebuah mahakarya sempurna. Dan dalam menciptakan kesempurnaan bernama manusia, Tuhan memang melekatkan banyak ketidaksempurnaan…
Mungkin, agar manusia tidak lupa jalan pulang. Jalan menuju kasih sayang yang paling abadi. Jalan menuju entitas yang Paling Maha, yang paling bersedia dan mampu mengasihi siapa saja tanpa koma, tanpa tapi. Jalan menuju rumah yang pintunya terbuka kapanpun kita teringat pulang, tidak peduli sedang seburuk dan seruntuh apa kita saat itu. Yang dekapan-Nya selalu mencukupkan di kala kekurangan, yang menahan di kala berkelebihan.
Jalan yang hanya dapat kita tempuh dengan bersimpuh. Jalan yang menyambut air mata dan keputusasaan dengan begitu ramah. Jalan yang mendekap hangat kelemahan dan ketidakmampuan. Satu-satunya jalan yang mengizinkanku untuk berkecil hati, mengambil waktu hingga siap kembali menjadi tabah dan berani.
Jalan yang menghadirkan ketenangan dalam keriuhan, setidaknya dalam dosis yang cukup buatku untuk terus sanggup berjalan.