Menerima Kelebihan adalah PR yang Lebih Berat dari Menerima Kekurangan

My Little Cave
3 min readDec 8, 2020

--

Photo by Jr Korpa on Unsplash

“Kamu tahu apa PR yang lebih sulit dari menerima kekurangan?”

“Apa itu?”

“Menerima kelebihan..”

Kira-kira seperti itu potongan percakapanku dengan seorang sahabat baikku. Dan pagi ini, kami menghabiskan dua jam video call berdiskusi tentang unconditional self acceptance alias menerima diri apa adanya.

Mungkin kamu punya pendapat dan pengalaman yang berbeda. Tapi, sejauh yang kuamati, bukankah menerima apa adanya lebih sering dihubungkan dengan menerima kekurangan daripada tentang menerima kelebihan?

Padahal, kekurangan dan kelebihan adalah dua hal yang tidak terpisahkan dalam diri setiap manusia. Artinya, sebenarnya tidak ada satu yang lebih penting diterima dibandingkan yang lainnya. Singkatnya, ternyata menerima apa adanya tidak sesimpel jargon-jargon romantisnya. Tapi mari kita lihat kedua sisi dari konsep menerima apa adanya.

Pernahkah kamu merasa begitu capek berusaha mati-matian memaafkan diri sendiri, tetapi hanya penghakiman yang sepertinya fasih otakmu ucapkan?

Memang betul, mengakui bahwa kita bisa merasa lemah, merasa lelah, dan berbuat salah, seringkali memakan begitu banyak energi dan menguras begitu banyak emosi. Sayangnya, kita terkadang cenderung menikmati mensabotase diri sendiri dengan berlindung di ketiak kelemahan dan kekurangan. Rasanya sulit sekali untuk akhirnya benar-benar maju ke depan dan percaya sepenuhnya pada kelebihan.

Photo by Daniel Tafjord on Unsplash

Jadi kenapa otak dan jiwa kita sepertinya lebih familiar menyodorkan penghakiman daripada penerimaan? Karena komponen menerima kelebihan sepertinya masih terlalu jarang kita libatkan. Kita terlalu sering mendengar kata menerima kekurangan, menerima ketidaksempurnaan, tetapi lupa bahwa kekurangan selalu hadir bersama kelebihan. Kita tidak terlatih dan terbiasa menghormati kelebihan.

Budaya keseharian mungkin membiasakanmu tidak terlalu nyaman berbicara tentang kelebihan. Menerima kelebihan sepertinya diasosiasikan dengan sifat sombong atau tinggi hati. Mungkin bagimu dan bagiku juga, sangat mudah mengagumi kelebihan orang lain, tapi sulit sekali memberi ruang bergerak bagi kelebihan diri sendiri.

Rasanya mudah sekali menghormati orang lain karena kemampuannya dan kontribusinya yang hebat. Lupa bahwa kita juga punya tanggung jawab untuk menghormati kelebihan yang kita miliki sendiri.

Padahal menghormati kelebihan tidak harus selalu didekati sebagai sebuah persaingan, balapan, atau kompetisi dengan pencapaian orang lain. Pada akhirnya, kemenangan paling bermakna adalah ketika kamu memilih berpihak pada dirimu sendiri. Berpihak pada pertumbuhannya, pada pemulihannya, pada perbaikannya, dan pada pemenuhan kebutuhannya.

Photo by Paul Green on Unsplash

Ada saatnya beristirahat, tapi ada juga saatnya berlari. Ada saatnya belajar, ada saatnya beraksi. Ada waktunya memaklumi, ada waktunya mendisiplinkan. Ada waktunya menerima kekurangan, ada waktunya menghormati kelebihan. Ada waktunya untuk step back, ada waktunya untuk fight back.

Kita cukupkan melarikan diri dari kenyataan. Sudah waktunya berkenalan dengan dirimu dan segala sisinya, berakraban bukan hanya dengan kelemahan-kelemahannya, tetapi juga belajar merasa nyaman dengan kelebihan-kelebihannya.

--

--

My Little Cave
My Little Cave

Written by My Little Cave

The little cave where I embrace big feelings.

No responses yet