Menunggu Hari Baik untuk Hidup

My Little Cave
3 min readApr 22, 2024

--

Kadang aku tenggelam mengira-ngira, bagaimana aku jika semua jauh dari kesulitan-kesulitan yang sebagian hanya warisan ini. Apa yang akan terjadi jika aku tidak melalui hal-hal yang menghimpitkan kemampuanku untuk berharap jadi semungil ini.

Photo by Kira auf der Heide on Unsplash

Aku terbenam dalam imajinasiku apakah suatu hari ada hari yang cukup baik bagiku untuk akhirnya kembali merasa cukup hidup untuk hidup.

Kawanku pernah bilang aku pandai membuat-buat suara ditegar-tegarkan. Faktanya begitulah sejauh ini aku bertahan, digigih-gigihkan, ditegak-tegakkan, ditenang-tenangkan. Harapanku lahir dan tumbuh kerdil dibandingkan besarnya dunia tempatku tinggal. Ditelan telapak tanganku sendiri yang sudah sempit sekali.

Kali ini ketahananku diuji dengan cinta yang tidak mampu kutunjukkan dan kasih yang kesulitan menjangkau inti jiwaku. Pada beberapa waktu seperti terasa ada dinding kaca antara duniaku dan dunia orang di sekitarku.

Bayangkan bagaimana kira-kira rasanya menyaksikan kasih sayang yang tersesat menuju jalannya pulang? Dan aku merasa kasihan tapi seperti terkunci tak mampu memberikan pertolongan.

Aku bisa mengingat bahwa mereka menyayangiku, dan aku pun sebaliknya juga menyayangi mereka, tapi aku merasa sedang melihatnya dari kejauhan. Jauh sekali, hingga terasa buram dan sangat berkabut.

Aku berusaha mati-matian untuk tetap tak lupa bahwa sebagian ini hanya penderitaan yang berkunjung dari masa lalu.

Seperti pengemudi mesin waktu yang mengira aku akan membalaskan dendamnya, menuruti teriakannya, nafsu egonya untuk berlari-lari liar menuruti kemarahannya.

Aku tidak bersedih, aku juga tidak memarahinya. Aku mengamatinya dari jauh, memahami sepenuhnya ini bukan diriku dari masa kini. Ini adalah residu-residu yang ajaibnya seperti hidup abadi. Membawa amarah dari generasi-generasi ayah ibuku, kakek nenekku, mungkin moyang-moyangku.

Kadang aku bertanya-tanya bagaimana bisa Tuhan bisa percaya kepadaku untuk menggendong berdekade-dekade masa lalu yang bahkan aku sendiri tidak memiliki memorinya. Menjadikan aku dan mungkin beberapa orang yang tak lahir jauh dariku untuk akhirnya merasakan semua yang semula diabaikan oleh orang-orang dewasa yang lahir sebelumnya dalam keluarga kami. Menumpuk, menumpuk, menumpuk, dan tidak terbendung lagi meminta untuk diuraikan pelan-pelan, dan menyakitkan, dan kadang mengerikan.

Aku tidak tahu jika ini adalah hal yang membanggakan atau mengenaskan, mungkin keduanya. Berhari-hari aku mengamati pengunjung aneh yang marah-marah di dalam kepalaku. Memarahi semua orang yang kutemui, tentu saja di dalam kepalaku. Mengutuki dunia setiap hari, yang tentu saja semuanya terjadi di kepalaku. Badanku jadi beku setiap hari mendengar celotehannya yang tak berujung sampai aku tertidur lagi setiap hari. Aku jengah, tapi tak bisa melakukan apa-apa.

Semua kecakapan yang kukuasai dari puluh ribuan jam pemulihan, seperti dorman dan lupa cara melakukan tugasnya.

Setelah semua berlalu setelah berhari-hari menunggu dengan sedikit tidak sabar dan banyak kelelahan, akhirnya aku bisa kembali merasakan pelukan yang benar-benar dapat kualami dengan mendalam. Pelukan yang terisi penuh dengan cinta yang dapat kuamati warnanya, wanginya, eratnya, dan damainya. Pelukan yang seolah-olah datang tergopoh-gopoh sambil tak henti-hentinya meminta maaf karena kali ini datang sedikit terlambat.

Pelukan yang akhirnya membantuku menghalau-halau sisa-sisa kabut dan jejak-jejak lumpur yang ditinggalkan si pengemudi mesin waktu yang sepertinya belum lama pergi dan lupa berpamitan.

Pelukan yang membantuku mengingat bahwa bahkan nabi-nabi yang beriman memiliki hidup yang tak kalah absurdnya. Ada yang anaknya saling membunuh, ada yang istrinya justru menjadi musuh utamanya, ada yang pemarah dan suatu hari harus melarikan diri karena kemarahannya yang memakan korban. Ada yang dibuang oleh saudara-saudaranya sendiri, ada yang disakiti oleh paman dan bapaknya sendiri.

Bagaimana bisa aku yang biasa-biasa ini, bertaqwa juga jika sedang ingat saja, mengharapkan aku punya hak istimewa untuk hidup dengan ‘normal-normal saja’?

Jadi rasanya aku akan menganggap setiap hari adalah kesempatan untuk menunggu hari baik ke hari baik lainnya. Mungkin akan selalu ada jeda-jeda di antaranya, tapi hari baik selalu tiba. Akan selalu tiba.

--

--