Mereka Bilang Menyayangiku, Tapi Aku Tidak Percaya
Hidup dengan otak yang ribut sekali hampir 24/7 tidak seasyik itu. Ada banyak hari hidup terasa kacau bukan karena harinya tidak indah. Namun kepalaku pandai sekali menciptakan skenario-skenario masa depan yang belum datang. Atau ingatan-ingatan lalu yang kurang enak diingat-ingat lagi.
Setelah ratusan jam yang digunakan sungguh-sungguh untuk terapi, belajar, berdoa, dan menerima bahwa hal ini bagaimanapun adalah bagian dari hidup, kini aku lebih mampu membedakan mana pikiran yang boleh kudengarkan dan yang mana perlu kuabaikan. Mana perasaan yang boleh kulayani, mana perasaan yang perlu ditemani sejenak saja.
Meski proses memulih memang tidak pernah instan, sekarang aku lebih menyadari kalau perjalanan memulih memang tidak seindah dan sedamai yang digaung-gaungkan narasi oversimplistik dan meromantisasi makna hidup yang bahagia.
Di hari yang baik, aku merasa bisa memahami apa yang orang-orang katakan sebagai kegembiraan. Merasa percaya diri. Merasa disayangi. Merasa memiliki tujuan dan harapan. Sedangkan di hari yang tidak terlalu baik, otakku masih perlu banyak berlatih untuk mengingat dan mempertahankan perasaan-perasaan menyenangkan tersebut. Semua perasaan yang kurang menyenangkan teramplifikasi dengan begitu lantang. Sedang perasaan tenang dan senang, seperti sedang disekap tidak mampu berbunyi sama sekali.
Pikiran-pikiran intrusif membuatku percaya bahwa aku tidak layak dicintai. Bahwa apapun yang aku lakukan adalah percuma dan hanya kecil sekali.
Bahwa semua yang sudah kucapai, semua apresiasi, pujian, dan kasih sayang yang aku terima adalah hasilku ‘mengelabui’ orang-orang di sekitarku.
Dan kadang di hari-hari yang buruk sekali, satu dua kali aku masih harus gigih mengingatkan diriku sendiri bahwa semua aman dan baik-baik saja. Bahwa aku tidak perlu lari dari apapun dan dari siapapun.
Aku belajar bahwa ‘dengarkan kata hatimu’ adalah nasihat yang tidak terlalu cocok bagi orang-orang sepertiku.
Karena pikiranku sering berbohong, dan perasaanku sering hanya berusaha menakut-nakutiku. Meskipun aku menyadari intuisi bisa menjadi tolak ukur yang berguna, aku belajar untuk sangat berhati-hati mempercayainya.
Berulangkali berakhir kalah dari rasa sesak semu dan putus asa yang palsu, aku belajar melihat pikiran dan jiwaku seperti sebuah tempat yang sakral. Sebenarnya bukan sakral dalam definisi yang terlalu spiritual…
Aku hanya belajar tidak mempersilahkan apapun atau siapapun dengan terlalu mudah untuk memasuki pikiran dan perasaanku. Tidak sembarangan memberi izin kepada banyak hal yang macam-macam untuk seenaknya mendikte apa maunya.
Karena kalau aku tidak menjaga batasan-batasan tadi, mungkin akan semakin sulit melihat kasih sayang di sekitarku. Mungkin akan makin sukar untuk bersyukur dan berterimakasih. Mungkin aku akan tidak mampu mengenali diriku sendiri dengan utuh, diri yang berlepas dari intuisi yang agak tidak bekerja dengan semestinya ini.
Di hari-hari buruk, aku merasa sedang berada di dalam terowongan yang gelap dan tidak terlihat ujungnya sama sekali. Ungkapan-ungkapan cinta dan apresiasi kadang hanya terdengar seperti gema yang jauh sekali. Sekalipun ketika orang-orang terdekat mengatakan bahwa mereka menyayangiku dan tidak akan membiarkan aku sendirian, ada waktu-waktu aku tidak sanggup untuk mempercayainya.
Tapi aku tahu aku selalu bisa mempercayai mereka. Dan bahwa ketidakpercayaanku hanyalah bagian dari distorsi pikiran yang sedang kualami. Dan bahwa menerima kasih sayang adalah bagian dari ketangguhan dan keberanian.
Seberapapun sisa waktu yang aku miliki, setidaknya aku tidak ingin hidup di dalam sebuah terowongan gelap. Aku ingin hidup menikmati padang rumput dan bunga-bunga yang setiap hari disapa matahari. Aku ingin hidup ditemani pepohonan yang rimbun namun tidak terasa membuat kewalahan. Aku ingin hidup mampu tersenyum melihat angsa-angsa berenang pelan di permukaan danau.
Aku ingin hidup terhibur mendengar lelucon-lelucon dan kelucuan yang kusaksikan. Aku ingin hidup menjadi diri yang tidak lupa rasanya tertawa dan tersentuh oleh banyak inspirasi, welas asih, dan keindahan. Aku ingin hidup tanpa lupa rasanya bisa mempercayai dan mengandalkan diriku sendiri.
Dan untuk itu aku memutuskan untuk mengizinkan semesta di sekitarku untuk mengingatkan setiap kali, bahwa apapun yang terjadi, aku layak tetap berada di sini.