Nenekku adalah Seorang Kurator Kenangan
Aku senang sekali bekerja menghadap punggung nenekku yang juga sedang bekerja. Menjahit pakaian demi pakaian, menambal lubang atau sobekan, memperpanjang umur kebahagiaan pemilik-pemiliknya.
Nenek gemar bekerja sembari bersenandung, sesekali duduk, sesekali berdiri. Aku betah berlama-lama memandanginya mengobservasi pakaian-pakaian itu seolah memandangi sebuah teka-teki. Berdiam diri dengan sedikit mengernyitkan dahi. Beberapa menit kemudian telah duduk mengerjakan helai demi helai dengan gerakan yang sungguh hanya dimiliki seorang ahli yang percaya diri.
Kemantapan yang hanya dapat ditunjukkan seorang artisan rumahan dengan berdekade-dekade pengalaman.
Nenekku adalah seorang penjahit, yang tak banyak menerima pekerjaan setiap harinya. Tapi setiap pakaian diperlakukannya seperti misi penyelamatan.
Pekerjaan yang dilakoninya dengan penuh kasih dan ketelitian, meskipun harga jasanya tak pernah sampai 100 ribu rupiah, dan sebagian tagihannya nenek kirimkan kepada Tuhan.
Tak jarang nenek menerima pembayaran berupa telur, pepaya, dan sayur-sayuran. Tak pernah sekalipun melewatkan kesempatan untuk membahagiakan yatim piatu, fakir miskin, dan janda yang membutuhkan keahliannya.
Pekerjaan ini adalah pekerjaan yang membuatnya berani meninggalkan suami yang tak punya nyali merawat kesetiaan. Pekerjaan yang membuatnya mampu menuntaskan pendidikan anak-anaknya hingga bisa hidup mulia.
Pekerjaan yang membantunya melalui duka kehilangan anak pertamanya. Pekerjaan yang memberinya kapasitas menjaga marwah dan harga dirinya hingga di usia senja. Pekerjaan yang memberinya rasa nyaman saat melalui badai kecemasan atau kesepian.
“Kalau berkunjung kemari, bawa saja pakaian-pakaianmu yang berlubang dan tak nyaman. Biar kuperbaiki”, kata nenek setiap kali. Kalimat yang aku tahu tidak akan abadi.
Suatu hari aku mungkin tidak bisa mendengar kalimat ini lagi. Jadi setiap kali aku datang, aku akan membawa satu dua lembar pakaian untuk nenek selamatkan.
Agar nenek tahu, semandiri apapun aku di dunia luar sana, sebanyak apa uang yang bisa kuperoleh dengan tanganku sendiri, pakaian-pakaian yang nenek betulkan bagiku akan selalu menjadi berkah kehidupan.
Nenek beberapa kali mengatakan ingin menyaksikan aku menikahi orang yang menyayangiku. Orang yang didoakannya dalam setiap sholatnya.
Didoakannya kesehatannya, kepemimpinannya, ketentraman hidupnya, kegantengannya (serius nenekku benar-benar menyebutnya), dan kemampuannya dalam membimbingku dan menenangkanku. Sungguh doa yang hanya bisa datang dari seseorang yang mengenalku seumur hidupku. Tapi di saat yang sama, nenekku selalu berpesan untuk mengambil waktuku dan agar tidak terburu-buru.
“Hanya karena kamu melihat hidup keluargamu, kuharap kamu tidak takut melanjutkan hidupmu. Semoga semua kesukaran telah selesai digendong nenek dan ibumu.
Aku berdoa kamu akan menghabiskan hidupmu bersama orang yang menyayangimu, yang setia dan perhatian, juga yang takut akan Tuhan”.
Doa yang indah, doa yang sangat indah.
Aku selalu bilang sambil berharap, hiduplah berumur panjang seperti kakak-kakakmu. Hiduplah sehat dan berbahagia. Terima kasih telah bersabar menungguku jadi dewasa. Terima kasih telah bersabar menungguku kembali setiap kali. Aku tidak keberatan berkali-kali menerangkan doa harian yang mulai sulit untuk kau lantunkan. Aku tidak keberatan menemanimu kerokan sampai seabad lagi sekalipun.
Aku tidak keberatan memeluk kecemasan-kecemasanmu yang untungnya juga Tuhan turunkan kepadaku, sehingga aku bisa dengan mudah memahamimu. Aku tidak keberatan menemani ketakutan dan kekalutanmu, dan mimpi-mimpi buruk yang sering kau bicarakan.
Terima kasih sudah begitu sabar untuk menungguku menjadi sembuh, mendukungku untuk melanjutkan hidupku meski hidupmu sendiri tak pernah penuh dan benar-benar utuh.
Aku tahu suatu hari aku akan merindukan ucapan-ucapanmu yang lebih terdengar seperti pidato seorang kurator kenangan. Terima kasih sudah hadir dan menyimpan banyak ingatan-ingatan kehangatan dalam hidupku, dan mengingatkanku bahwa terlepas dari kesedihan ini dan kesedihan itu, kau tidak pernah memandangku tidak berguna. Terima kasih untuk menyemangatiku agar tak hidup dalam penyesalan dan kekesalan berkepanjangan. Aku menyayangimu, wahai, kurator kenangan.
Semoga Tuhan menjagamu selalu, dan semoga aku tetap selalu menjadi cucumu di semesta manapun nantinya kita bertemu.