Pernikahan dan Hiruk Pikuk Perayaan Kehidupan: Sebuah Refleksi dari Isi Kepalaku
Dalam kepercayaanku, ada sebuah petuah yang mengatakan bahwa pasangan adalah cerminan. Bahwa mereka adalah seseorang yang jiwanya menyerupai kita sendiri. Dan terkadang pemikiran itu sedikit membuatku ketakutan. Aku saja sering tidak mampu menggenggam diriku dengan tenang, bagaimana aku dapat merangkul dua manusia yang merupakan cerminan satu dan lainnya. Kurasa aku tidak akan sanggup.
Aku saja kesulitan harus terus menerus menyayangi diriku sendiri. Aku saja sering kelelahan mengejar nafasku menghadapi sudut pandangku yang sering hilang harapan.
Bagaimana mampu aku menyayangi tidak hanya satu, tapi dua insan sekaligus; yang hidupnya menggambarkan hidupku, yang isi kepalanya menggambarkan isi kepalaku, yang kata-katanya menggambarkan tutur ucapku, yang imannya menggambarkan imanku.
Di hadapan Tuhan, semua tampak transparan. Membayangkan semua dariku dihadirkan berupa manusia lain di hadapanku, seringkali aku merasa akan tidak mampu menyanggupinya.
Apa iya hubungan dan pernikahan dan komitmen adalah konsep yang dapat kujalani dengan tentram dan penuh kecakapan? Apakah aku adalah orang yang tepat dan cukup berani untuk menemui dinamika ombak hidup selamanya dengan satu manusia lainnya?
Bukankah selamanya terlalu panjang sekaligus terlalu singkat untuk kuhabiskan dengan menyesali hubungan yang tidak kupikir matang-matang, atau dengan berpura-pura tegap dalam bahtera yang kesulitan menemukan keseimbangan, atau dengan terus menerus merasa tidak cukup pantas bagi diriku atau untuk nahkodaku.
Sekaligus juga, bagaimana jika aku terlalu mandiri, terlalu perasa, terlalu ambisius, terlalu mudah menyerah, terlalu banyak bicara, terlalu pendiam, terlalu banyak mau, terlalu banyak mengalah, terlalu banyak tertawa, terlalu banyak menangis.
Terlalu keras kepala, terlalu mudah luluh, terlalu luar biasa, terlalu biasa-biasa saja, terlalu gila bekerja, terlalu sedikit berkontribusi, terlalu tidak mau tunduk begitu saja, terlalu banyak memikirkan “bagaimana jika”; terlalu berkontradiksi untuk seorang makhluk yang hanya punya 1 jiwa dan 1 kepala.
Baru-baru ini aku menemukan gagasan bahwa ternyata sekalipun terdengar logis, mengingat bagaimana peran stereotip perempuan dan laki-laki dipreskripsikan, mengingat bagaimana hampir aku tidak punya teladan pernikahan yang benar-benar damai keberadaannya, mengingat semua yang ada di hadapanku tidak banyak yang bisa menggambarkan berharganya kesetiaan jangka panjang, kekhawatiranku ternyata tetap saja dianggap berlebihan. Ketakutanku ternyata tetap saja dianggap tidak punya tempat. Kamu bisa bayangkan seperti apa tarik tambang yang sedang terjadi di dalam kepalaku?
Kamu bisa bayangkan betapa merepotkannya menerima nasihat percintaan dari orang yang tenang-tenang saja meski dikhianati, yang kesulitan membela diri di hadapan kekerasan, atau yang gemar merendahkan pasangan sendiri? Ringan sekali mengatakan “cepatlah berpasangan”, ketika mereka sendiri tak dapat menggambarkan berharganya menjaga sebuah hubungan atau menjaga diri ketika hubungannya tidak memberikan rasa aman.
Hampir 30 tahun menyaksikan hal yang seringnya tidak terlalu terlihat menyenangkan tentang berada dalam sebuah hubungan, aku menghabiskan separuh dekade belakangan untuk menawarkanku antidot sudut pandang. Lima tahun yang penuh ketidaksabaran menemui kerapuhan demi kerapuhan, kegelisahan melawan suara-suara buruk yang bertahun-tahun kukatakan kepada telingaku sendiri.
Lima tahun yang teman-temanku habiskan untuk bereksperimen dengan relasi romantis, di saat yang bersamaan kuhabiskan untuk melarikan diri, menyelamatkan diri dari hidupku sendiri.
Tahun-tahun penuh sampah berkotak-kotak tisu penghapus air mata yang luluh melunturkan lapisan demi lapisan yang selama ini memberiku perlindungan. Tahun-tahun penuh doa meminta Tuhan menenangkanku saat aku merasa sangat marah dan sendirian. Tahun-tahun di mana aku menemukan bahwa aku tidak lagi perlu memasang baju perang untuk isi kepalaku, tidak lagi butuh memasang topeng dan menggenggam tombak setiap waktu untuk isi perasaanku.
Tahun-tahun aku mempelajari berulangkali, berhasil dan gagal juga berkali-kali, untuk mempercayai bahwa aku layak dicintai; layak dirayakan bodohnya, pintarnya, sedihnya, senangnya, kecilnya, bangganya, lembutnya, kerasnya, lemahnya, kuatnya, sakitnya, sehatnya, miskinnya, kayanya, sepinya, ramainya, riuhnya, damainya…bahwa aku juga layak dirayakan seluruh kontradiksinya.
Singkatnya, baru di tahun-tahun terakhir, aku baru benar-benar bisa memahami bahwa keberadaanku dan kehadiranku ternyata layak diterima. Tidak sekadar oleh pujian yang sudah sering kudengarkan sebagai basa basi dan pembuka pembicaraan, tapi perayaan yang seutuhnya. Perayaan yang tidak memintaku untuk berpura-pura menjadi seseorang selain aku. Perayaan yang tidak memintaku mengatakan hal yang tidak ingin kukatakan. Perayaan yang tidak memintaku melakukan hal yang tidak ingin kulakukan.
Aku saja masih tertatih-tatih mempelajari hal baru ini. Tapi sepertinya, kini aku punya ruang lebih lapang untuk berkenalan ulang dengan diriku. Aku akan menghabiskan waktu sebanyak yang aku butuhkan untuk berkali-kali mengatakan “Hai, senang mengenalmu” kepada bagian demi bagian diriku yang perlahan mulai bernyali menunjukkan dirinya kepada tuan rumahnya ini.
Sejujurnya, aku belum dapat sungguh membayangkan melibatkan seseorang lagi untuk bersama menemui sesuatu sebesar ini — merayakan diriku seapa adanya; sebuah hal yang sebelumnya terasa sangat tidak masuk akal ini. Untuk sementara, aku akan menghabiskan waktu menyediakan diriku berbahagia merayakan kebahagiaan-kebahagiaan dalam bentuk lainnya.
Suatu waktu mungkin aku akan siap mengundang satu lagi penumpang untuk pesawat kecil kehidupan yang sedang kukemudikan. Mungkin tidak hari ini, mungkin tidak tahun ini, bahkan mungkin tidak beberapa tahun lagi. Ketika suatu hari kehadirannya menjadi lebih nyata dan konkret di hadapanku, kurasa aku akan lebih mampu untuk tahu apakah ingin melanjutkan perjalanan bersamanya.
Hidup kita terlalu singkat untuk kita isi dengan kemarahan demi kemarahan. Relasi pernikahan adalah hubungan yang terlalu suci untuk diisi dengan kebencian demi kebencian.
Se-pesimis apapun aku terhadap dangkalnya hidup manusia, keputusan untuk menikah tetap menjadi sesuatu yang senantiasa terasa sakral bagiku.
Bagaimana tidak? Dua semesta yang sangat berbeda, memutuskan untuk saling bertemu dan saling menggenggam, memutuskan untuk melebur tanpa meniadakan. Bukankah indah sekali jika benar itu bisa terjadi?
Terakhir, siapapun kamu yang mungkin — telah atau belum berniat — menjadi pendampingku, untuk saat ini biarkan aku akan menjaga diriku, dan kuharap kamu juga menjaga dirimu. Mari bertemu di waktu yang Tuhan tentukan. Semoga waktu itu adalah saat yang paling tepat, ketika aku sudah lebih cakap menghadapiku, dan kamu juga telah lebih cakap menghadapimu.
Semoga kamu sehat selalu dan senantiasa dikelilingi kebaikan dan kasih sayang dari orang-orang yang tulus di sekitarmu. Semoga kehadiranmu senantiasa dirayakan dengan kejernihan pikiran, keramahan, dan kebaikan hati, sebagaimana aku kelak juga ingin turut merayakan kelahiranmu, kehadiranmu, dan kehidupanmu.
Sampai bertemu :)