Selarik Mudik, Setangki Syukur
Aku pernah bercerita di sini bagaimana merasa pulang tidak pernah menjadi suatu konsep yang kusukai. Mungkin karena aku sendiri tidak benar-benar bisa mengingat bagaimana rasanya pulang dengan perasaan yang hangat.
Tahun ini, seperti manusia-manusia lain yang berusaha berbakti karena menuruti keinginan Tuhannya, aku pulang mudik. Kukira, berakhirnya badai utama akan memampukanku untuk kembali merasa baik saja. Ternyata setiap sudut rumah ini menyimpan duka kolektif dari hidup keluargaku yang dulu tak sejahtera. Ternyata setiap sofa dan dipannya menyimpan memori isak tangis ibuku dan keluarganya setelah ditinggalkan nahkoda utamanya. Ternyata setiap jendelanya menyimpan ingatan tentang berantakannya dunia setelah ibuku mendadak tiada.
Belum seminggu, badanku sudah memasang mode berperangnya. Tangan mengepal sepanjang waktu, dagu yang seperti tak tahu bagaimana melepas cengkramannya, nada bicara yang seperti tak kenal lagi kelembutan yang biasanya alami mengalir darinya. Aku beruntung telah berkenalan dengan sisi diriku yang seperti ini, sekaligus menyadari bahwa sedikit banyak keakuan ku telah mulai menjelma dalam sendi-sendi. Aku harus menemuinya sebelum dia benar-benar berubah menjadi batu.
Aku bertemu diriku yang berseragam SMA sambil menangis tersedu-sedu. Dia mengingat pernah harus menderita sendirian di hadapan ancaman ditinggalkan dan diabaikan. Dia mengingat pernah harus ketakutan sendirian di hadapan seseorang yang berkali-kali bilang apakah aku yang muda menginginkan kematiannya. Dia mengingat semuanya seperti terjadi kemarin sore saja. Padahal nyatanya itu semua sudah berlalu belasan tahun lalu. Aku menemuinya sambil berhati-hati. Aku tahu betul lukanya bukan main dalamnya, aku ingin memastikan kali ini dia tak perlu menderita sendirian lagi.
Setelah berbagai percakapan dan negosiasi, aku turut menangis tersedu mengatakan kepadanya,
“Mereka tak bisa melihatmu, jadi mereka tidak akan bisa menyakitimu lagi”.
Dan setelah itu ia menangis lega sekali. Sungguh kejam rasa sayang yang rekat pada rasa sakit hati ini. Sungguh kelam rasa rindu yang melekat pada kemarahan ini. Aku berusaha memeluknya seperti yang ia minta. Meyakinkannya lagi dan lagi bahwa aku tak akan ke mana-mana. Mengatakan padanya bahwa ia selalu bisa menggenggam tanganku atau punggung bajuku jika ia merasa perlu.
“Aku tak akan ke mana-mana” terus kurapalkan seolah mantra.
Butuh waktu baginya untuk benar-benar mencernanya.
Kami berakhir duduk berdampingan menikmati es krim bersama. Tentu semua di kepalaku saja. Tapi bukan berarti semuanya tidak nyata, setidaknya di dalam duniaku.
Aku kembali memandangi rumah dan punggung orang-orang yang membantuku mengenali reaksi traumaku. Meyakinkan diri mudaku bahwa mereka benar-benar tak akan bisa melihatnya, mengenalinya, apalagi menyakitinya.
Aku merasakan diri dewasaku perlahan kembali mengambil alih roda kemudi. Dengan sekali nafas panjang yang dalam sekali, aku mendapatinya berkata “Terima kasih telah bertahan hidup, ya. Terima kasih aku masih boleh melihatmu dan menemuimu”.