Sitemap

Sepotong Mangga*

4 min readJun 1, 2025

--

Photo by Ama Journey on Unsplash

*Meski diangkat dari percakapan nyata dengan murid di kelas, beberapa detail disamarkan dan dimodifikasi untuk melindungi privasi pemilik cerita asli.

Kami memulai kelas hari itu seperti biasa. Aku menyapa dan menanyakan kabarnya. Tapi hari itu, rasanya ada yang tidak baik saja. Aku melunak sejenak, mencoba mengamati ada apa di antara layarku dan layarnya. Ada hawa berat yang belum terungkap, akupun tak yakin apa.

Murid ini adalah seorang bunda yang gemar belajar. Ia pernah bilang bahwa ingin menjadi contoh bagi putri kecilnya bahwa bundanya pun tak berhenti menuntut ilmu. Biasanya putri kecilnya menyapaku sejenak sebelum kami memulai sesi, tapi tidak hari itu. Hmm… ada sedikit kekhawatiran di raut wajahnya. Oh, bukan, ini bukan kekhawatiran. Itu lebih terlihat seperti kelelahan yang bercampur kesedihan, dan mungkin kekalutan.

Aku tak berkomentar, sengaja menunggu ia nyaman sendiri berbagi denganku. Sembari melanjutkan berbincang, aku terus memonitor respon-respon yang ia berikan. Hari ini tugasku terasa seperti menadahkan tangan membawa beberapa butir telur yang tak ingin kujatuhkan.

Kami meneruskan rutinitas berlatih seperti yang selalu kami lakukan. Satu kali seminggu, pukul dua siang. Setelah semua tugas kami selesaikan, aku merasakan dorongan untuk bertanya tentang kegelisahan yang menular dan menerabas layar laptopku ini.

“Saya tidak tahu ada apa, tapi hari ini saya merasa ingin bertanya sekali lagi bagaimana kabarmu. Like really, how are you?”.

Tak lama aku melihatnya terisak dan menyeka air mata yang mungkin ditahannya sejak entah berapa hari lalu. Ia justru nampak tersenyum sambil sibuk menutupi matanya dengan sudut siku kanannya. Alisnya mulai mengkerut bersedih, namun senyumnya semakin lebar menampakkan gigi-giginya yang rapi.

Aku tengah menyaksikan ekspresi paradoksikal — air muka yang mungkin menandakan ada rasa sakit yang berusaha tak ditunjukkan. Atau bisa juga mungkin kecemasan yang teramat sangat, dan bak sabuk pengaman, senyuman adalah sebuah bentuk perlindungan diri dari hantaman sakitnya kenyataan.

Sepertinya ucapakanku tepat alamat. Aku membiarkan air matanya deras sejenak.

Tangisan adalah sewujud jiwa yang akhirnya menemukan aliran kisahnya — menjadikan rasa tidak lagi tak kasat mata.

Setelah sedikit tenang, ia bercerita lambat bagaimana beberapa hari ini putri kesayangannya, yang biasa menyapaku ceria sebelum sesi, baru saja didiagnosis sakit yang membutuhkan pengobatan jangka panjang. Bunda mana yang tak patah hatinya menyaksikan anak kesayangannya kesakitan, tak sedang sanggup menjadi ceria dan lincah seperti biasanya. Meskipun aku belum pernah menjadi ibu, membayangkannya saja hatiku turut pedih.

“Kami harus tega mengobatinya enam bulan, Miss Bea. Enam bulan! Aku pernah melalui penyakit yang sama sebagai orang dewasa, itu saja tak mudah. Sekarang aku harus tegar melakukannya untuk anakku”, ucapnya. Gabungan tangisan dan ekspresi tawanya masih berlanjut. Aku tahu di saat-saat seperti itu, tidak ada kenyamanan apapun yang dapat kurajut dalam kata.

Tidak ada ucapan yang benar-benar dapat membebat luka seorang ibu atau seorang bapak yang bersedih atas penderitaan anak-anaknya.

Aku diam, memejamkan mataku sebentar, dan turut menghela napas. Dia sedang melalui satu dari banyak hal paling menakutkan dari mencintai seorang anak: menyaksikan penderitaan anak tersebut tanpa memiliki kuasa untuk meringankannya saat itu juga.

Seiring ceritanya tentang keadaan putrinya, bagaimana proses diagnosis dan pengobatannya, aku tak lagi melihat seorang murid di hadapanku. Sejenak rasanya seperti berhadapan dengan jiwa seorang ibu yang cahayanya sedang redup dan menciut. Lentera yang kini sedang terlihat lebih seperti lilin, yang beberapa kali sinarnya hampir lenyap diterpa angin.

Untuk beberapa waktu kami berbincang tentang putri kecil yang begitu hebat dan berani, tak mengeluh tentang regimen pengobatannya yang jelas tak lumrah menimbang usianya. Kami yang dewasa tapi tak kuasa, hanya mampu menyuplai cinta demi cinta, doa demi doa.

Setelah 15 menit, air matanya mulai mereda. Kami sama-sama termenung, rasanya seperti saling mengenggam tangan meski kami sedang berjauhan. Tak lama kemudian, aku mendengar sebuah kalimat yang selamanya menyentuh hatiku sebagai seorang guru.

“Miss Bea, untuk pertama kalinya dalam seminggu ini, aku merasa lapar. Sepertinya setelah kelas ini aku ingin sekali makan mangga. Terima kasih, ya”.

Aku menjawabnya sambil bercanda,

“Senang sekali mendengarnya. Nanti tolong fotokan mangganya, ya. Kalau perlu boleh kirim satu ke saya haha”, ujarku menyambut benang-benang yang mulai terurai dari kekalutannya.

Beberapa menit berlalu dan kami pun akhirnya mengucap sampai jumpa, akupun menitipkan salamku kepada putri kecil yang telah kuanggap salah satu keponakan daringku. Namun… setelah menekan tombol mengakhiri pertemuan, aku turut runtuh.

Kehilangan rasa lapar adalah salah satu gejala penyerta kesedihan mendalam yang sungguh tak main-main; salah satu bagian paling menyedihkan dari dalamnya penderitaan.

“Ting!”. Layar notifikasi whatsapp-ku menunjukkan sebuah gambar yang dikirim oleh muridku tadi. Ia telah mengupas mangga dan tengah menikmatinya. Ada banjir kelegaan yang tiba-tiba turut menyertaiku. Membuncah begitu kuatnya dan akupun turut luruh dalam air mataku sendiri.

Aku sungguh-sungguh senang perbincangan kami mengantarkan kembali nafsu makannya. Aku sungguh-sungguh bersyukur makanan yang dinikmatinya akan menjadi sumber kekuatannya menghadapi semuanya.

--

--

My Little Cave
My Little Cave

Written by My Little Cave

The little cave where I embrace big feelings.

No responses yet