Tenanglah, Sekarang Ada Aku
Hari yang gila. Hari ini terapisku mengajakku mengunjungi kembali trauma berbelas tahun yang lalu. Aku menemui diriku yang sangat marah. Kemarahannya masih sangat basah, tapi diendapkannya sendirian. Aku menemui diriku yang berteriak histeris dan ingin menghantam semua yang ditemuinya. Tentu itu semua terjadi dalam kepalanya saja. Tapi pagi ini aku akhirnya berani mencoba mengunjungi semua kekacauan itu. Dia sangat marah. Sangat sangat marah.
Aku dibimbing untuk menyaksikannya kesakitan, geram, dan liar sekali. Pemandangan yang menyesakkan. Aku diajak untuk menemui itu semua, sambil berkali-kali dibimbing untuk berterimakasih dan menunjukkan cinta kasih. Rasanya seperti mendekati kaktus berduri. Atau sengaja menyentuh panci mendidih. Atau menyentuh es yang beku sekali hingga membuat perih. Aku mendekatinya dengan ragu, tapi aku merasa cukup aman karena sedang bersama seseorang yang berkeahlian untuk membantuku.
Aku terus menerus mendengar kata-kata yang hampir terasa seperti mantra. “Lepaskan, pasrahkan, longgarkan, bebaskan. Ucapkan terima kasih”. Berkali-kali hingga rasa ragu dan takutku mulai kebas sendiri. Pelan-pelan aku memberanikan berhadapan dengan diriku yang ketakutan. Beberapa lama aku menungguinya. Cukup lama sampai ia berhenti berteriak-teriak dan memandangiku seperti mengatakan “akhirnya, kamu mendengarkan”.
Air matanya mengalir terus sambil terus mengisyaratkan, “Akhirnya. Akhirnya. Akhirnya kamu mendengarkan juga”.
Ada kelegaan yang terlihat menyakitkan pada tatapannya. Ah. Aku terhenyak. Dia selama ini merasa sendirian. Dan sama seperti semua orang, aku telah mengabaikannya.
Aku masih terbengong-bengong menyaksikan diri remajaku yang kesakitan dan ketakutan dan sendirian. Kemudian aku mendengar kata “Terima kasih sudah pernah di sini menemaniku”. Aku mendengar itu berkali-kali hingga kata-kata itu terdengar berubah menjadi suaraku sendiri. Suara yang tercekat tentu, tapi tidak gemetar. Suara yang tidak gentar menghadapi kemarahan di hadapanku ini. “Terima kasih sudah pernah ada di sini”, akhirnya kalimat itu terdengar cukup nyata bagiku.
Berterimakasih menjadi satu-satunya kosakata yang kudengar dan kukatakan kepadanya. Sambil pelan-pelan aku dibantu untuk mulai mampu menata nafasku satu-satu. Belum sempat hilang benar rasa sesakku, aku mendengar kalimat berikutnya.
“Semoga kamu berbahagia. Semoga kamu merasa damai. Semoga kamu terbebas. Semoga kamu berbahagia. Semoga kamu berbahagia. Semoga kamu berbahagia”. Aku pun berani mengatakan pada diri remajaku, “Tenang, ya. Sekarang ada aku. Sekarang ada aku. Kamu aman. Kamu ada di tempat yang aman”.
Dan dia pun luruh. Akupun runtuh. Rasa marahnya melembut. Tapi setelah itu aku kehabisan nafas. Aku seperti habis disuruh maraton berkilo-kilo meter. Aku kelelahan.
Aku sesak beberapa saat. Aku sempat protes kepada terapisku haha. Kukira sudah lama memproses ini semua, semakin lama akan semakin mudah. Ternyata justru sebaliknya. Kami terdiam beberapa waktu. Menungguku kembali bisa bernafas seperti manusia dan bukan seperti ikan. Ternyata penderitaan hanya akan mereda ketika diterima dan dicintai. Tapi melelahkan sekali. Arghhh. Siapa mengira ternyata fantasi ingin diselamatkan itu ternyata dikerjakan bukan oleh seorang pahlawan tapi harus oleh diriku sendiri?