Tentang Misi Hidup Lebih Panjang dari Ibuku
Duka adalah salah satu penderitaan yang paling tangguh dan keras kepala. Semua bilang duka tak berbatas usia. Tapi kadang ada waktu aku jadi bertanya-tanya: hingga kapan, hingga apa, hingga bagaimana.
Perpisahan kami tidak benar-benar memberi ruang untuk melepaskan. Aku tak ingat sempat mengikhlaskan. Semua begitu cepat sekaligus begitu lambat. Delapan belas tahun kepergian ibu, Juni masih selalu menjadi bulan yang tak nyaman.
Ada bagian diriku yang masih marah karena jika ibu tak pergi, semua penderitaan-penderitaan setelahnya mungkin tak akan jadi seberat ini. Tapi pun, itu juga bukan salah ibuku. Tuhan yang atur semua, sekalipun andai waktu itu ibu bisa lebih banyak berupaya.
Aku banyak bertanya-tanya apa mungkin semua jadi berbeda jika ibu tak pergi cepat-cepat. Apa mungkin semua jadi berbeda jika ibu sebentar saja menungguku jadi dewasa.
Semampu-mampunya isi kepalaku berlogika, aku seperti kesulitan paham bahwa ajal bukan pilihan. Hatiku masih sering mengumpat dan menangisi, mengira bahwa aku merasa tak layak diperjuangkan, dengan menjadi lebih sehat, pulih, sembuh. Aku merasa tak layak ditunggu kuatnya, mandirinya, bahagianya.
Ada kemarahan yang kuat sekali mencekat, sampai terasa seperti bukan milikku. Ada kemarahan yang aku tidak tahu lagi bermula dari rahim ibuku atau rahim nenek moyangku. Rasanya seperti meminjam bara dendam yang aku tak lihat bentuknya, tapi diam-diam tersulut seolah abadi setiap kali mengingatnya. Ingatan yang buram tapi terasa mencekam.
Usiaku telah memasuki kepala usia berakhirnya hidup ibuku. Dan aku punya beberapa tahun untuk berupaya hidup lebih baik.
Aku tidak tahu apakah aku kelak ingin atau akan menjadi ibu, tapi jika iya, aku ingin jadi ibu yang berusaha berumur panjang semampuku. Aku ingin jadi ibu yang tak menahan-nahan penderitaan. Aku ingin menjadi ibu yang tak hanya menjadi ibu tapi tetap mempertahankan jiwaku sebagai seorang aku.
Biar kata bisa masuk surga karena penderitaannya, bukan berarti seorang perempuan harus menerima-menerima saja penderitaan-penderitaan yang disengaja.
Biar kata banyak pahala, ada cara mencegah beberapa kesulitan yang tidak seharusnya ada. Biar kata perannya mulia, bukan berarti menjadikannya senjata untuk mereduksi kehadiran perempuan untuk masa depannya. Rasa marah yang kubawa adalah kemarahan kepada umat manusia, yang gagal membiarkan perempuan seperti ibuku untuk hidup tanpa harus menjadi redup.
“Apa Ibu bahagia?” adalah pertanyaan yang tak sempat kutanyakan meski mati-matian penasaran.
Kalaupun sempat, aku sudah bisa menebak ibu hanya akan menjawab dengan senyuman. Sepanjang hidupnya kalang kabut, sepanjang hidupnya kalut, sepanjang hidupnya terbentur tak teratur. Aku banyak menyaksikan air mata, ketakutannya, kesedihannya, lebih banyak daripada yang ibu kira. Mungkin aku sudah menyaksikannya bahkan dari dalam rahimnya. Merasakannya bersama, lebih lama daripada yang bisa diperkirakan manusia di sekitarku.
Aku tahu Tuhan memintaku beriman pada takdir baik dan takdir buruk. Tentu, tentu akan kulakukan demi Tuhanku. Dan aku tahu, ibuku sudah sekuat tenaga memutus mata rantai penderitaan yang dulu pernah dilaluinya dengan memilih pasangan yang mampu menjadi ayah yang baik buatku. Meskipun harus banyak belajar, harus banyak bersabar, ibuku memilih seorang ayah yang tak goyah menghadapi ribuan pertengkaran dan perselisihan denganku, dengan penderitaan-penderitaan yang seperti belum siap melepaskan dirinya dariku. Tapi aku hidup memiliki misi baru…
Aku punya beberapa tahun hingga menyentuh usia meninggalnya ibuku. Aku dulu mengira aku akan pergi lebih muda dari itu. Tapi sekarang aku sudah punya lebih banyak tenaga dan stamina. Sekarang aku punya lebih banyak wacana dan rencana. Sekarang aku punya lebih banyak sumberdaya. Aku ingin menantang diriku untuk berupaya semampuku biar hidup lebih panjang dari ibuku.
Yang meninggal memang sudah berlepas urusan dengan dunia. Tapi kami yang ditinggalkan tidak pernah benar-benar lupa rasanya. Memorinya selalu terasa baru terjadi kemarin sore. Dan semampuku, aku ingin pergi nanti saja dulu. Dan jika aku lupa, aku akan berhati-hati dan berusaha mengingatnya kembali.
Aku masih perlu mengkoreksi beberapa memori dan merekonstruksinya. Aku masih perlu menemukan diri-diri yang belum sempat kutemui. Aku masih perlu belajar banyak lagi bagaimana mendukung diriku dan apa yang kuhargai.
Aku sayang ibuku dan menghargai kerja kerasnya, tapi ada bagian diriku yang sungguh-sungguh berharap sebagian besar bagian sedihnya berakhir di aku. Aku mencintai ibuku dan segenap damai dan tentram kehadirannya, tapi ada bagian dari diriku yang ingin sebagian besar mengalah dan dan pasrahnya berakhir di aku.
Aku mengasihi ibuku dan segenap pengabdiannya, tapi ada bagian dari diriku yang ingin sebagian besar kesakitannya berakhir di aku.