Teruntuk Keluarga yang Kutemukan Di Sepanjang Perjalanan
Menjalani hidup bersama keluarga yang sama-sama secara konstan mencari cara untuk bertahan, membuatku kadang lupa bahwa hidup juga punya sisi lain dari sekadar berjuang buat bertahan.
Pujian demi pujian yang tidak berubah berwindu-windu, dari lebaran ke lebaran: “Kamu adalah anak yang mandiri. Kami bersyukur kamu adalah anak yang dewasa sekali”. Dan baru kali ini pujian itu terasa mematahkan hatiku daripada menyenangkanku.
Baru kali ini aku tersadar bahwa selama ini aku terpaksa menjadi mandiri dan berupaya terlalu keras melampaui kesanggupanku, sesederhana karena aku tidak pernah punya pilihan.
Ini bukan salah siapapun. Bukan salah ayah ibuku. Bukan salah keluargaku. Bukan salah orang-orang di sekitarku.
Seringkali tidak perlu ada siapa yang salah untuk sebuah kesalahan bisa terjadi.
Kami sama-sama berjuang sendiri-sendiri dalam pergumulan yang kadang tidak pernah sepenuhnya kami bagikan kepada satu sama lain.
Tumbuh besar dengan hampir melupakan seperti apa rasanya punya ibu sungguhan, aku selalu menyimpan ketakutan untuk merasakan kasih sayang. Aku takut kasih sayang itu sekejap pergi seperti yang pernah aku rasakan dulu sekali.
Bagaimana jika aku jadi merepotkan. Bagaimana jika aku menjadi beban. Bagaimana jika aku tidak mampu hidup cukup bahagia untuk membuat orang di sekitarku bangga dan berbahagia.
Bagaimana jika pada akhirnya aku menjadi terlalu bersedih hingga mereka tidak mau dekat-dekat lagi. Dan masih banyak lagi kekhawatiran yang lebih banyak tidak kuceritakan.
Dua hari ini aku mengambil resiko untuk mengizinkan diriku dicintai; oleh para mama yang kutemui bukan sejak di dalam rahim. Para mama yang kutemukan berpuluh tahun sejak kelahiranku. Para mama yang menemuiku layaknya aku adalah anak yang ditimangnya sedari bayi. Para mama yang hadir turut berbahagia akan kegembiraanku, yang hadir mendekap kesedihan dan kekuranganku.
Para mama yang membantuku memandang kerapuhan dengan hati yang lapang dan penuh penerimaan. Karena setiap kali aku datang, mereka selalu ada di sana, di ujung sana, menungguku untuk memeluknya dan mencium tangannya. Dan ketika aku melakukannya, apapun yang terjadi di dalam kepalaku, di masa laluku, di masa depanku seketika jadi terasa tidak penting lagi.
Seperti tidak percaya akhirnya aku bisa kembali merasakan pengalaman untuk dikasihi, aku memeluk mereka berkali-kali. Lagi, dan lagi, dan lagi. Rasanya sudah lama sekali aku tidak merasakan cinta yang sebesar ini.
Cinta yang menyelamatkanku bertahun-tahun lalu ketika aku sedang berpegangan pada benang terakhir harapan. Ternyata tujuh tahun kemudian, cinta itu masih ada dan mengalir berlimpah buatku. Padahal aku sudah datang dan pergi berkali-kali.
Pertama kali sejak sekian lama, aku kembali bisa mengalami rasanya dirindukan, diinginkan, dan diharapkan. Aku tidak berhenti menangis sejak semalam, karena perasaan ini indah sekali.
Sebelumnya aku tidak tahu bahwa aku punya kapasitas untuk merasakan ini semua, dalam volume yang begitu membanjir. Aku kewalahan, dalam konteks yang menyenangkan.
Aku bertemu kawan baikku dan sempat bertemu dengan ibunya yang selalu sibuk memberiku sebotol air setiap kali aku mampir. Ibu yang juga pernah berkata padaku bahwa ia juga adalah ibuku. Ibu yang kupanggil tante itu, memintaku selalu mampir setiap kali berkunjung di kotanya.
Entah sudah berapa botol air minum yang kuterima darinya dan sahabatku. Cinta yang mereka tunjukkan untukku selalu lebih dari berbotol-botol; bahkan mungkin bergalon-galon setiap kali aku datang ke sana.
Dunia sering membuatku merasa seperti tak kasat mata. Kehadiranku sering terasa seperti tembus pandang dan tidak berarti, setidaknya di dalam kepalaku sendiri. Dan sekarang aku tahu itu hanya di pikiranku, dan faktanya aku selalu bisa tidak setuju dengan pikiranku sendiri.
Kukira sekian tahun hidup seperti ini membuatku semakin ahli. Ternyata tidak juga. Aku tetap butuh belajar menemukan dan ditemukan manusia lainnya. Aku tetap terus belajar mengizinkan diriku untuk ditolong lagi dan lagi.
Apa yang kualami dalam dua hari ini menimbulkan rasa yang bercampur antara kesadaran bahwa selama ini aku mengharapkan cinta dari tempat-tempat yang tidak bisa memberikannya; sekaligus menyadari bahwa cinta selalu ada di tempat-tempat lainnya yang ternyata selalu menungguku datang untuk pulang.
Ada sedikit isi kepalaku yang mengatakan bahwa aku bodoh sekali selama ini. Namun aku tahu bahwa itu hanya bunyi dari hati yang frustrasi.
Yang bersedih dan berduka atas sesuatu yang tidak bisa terjadi, namun tidak tahu bagaimana rasanya tidak berharap pada orang-orang yang seharusnya menjadi harapan tapi tidak punya kesanggupan untuk memberikannya.
Dua hari ini tiba-tiba aku punya keinginan untuk segera lancar berkendara. Sekadar karena ingin menggantikan mama-mama baruku ini ketika sedang kelelahan untuk mengemudi. Setiap kali aku datang, mereka yang menjemputku dan menyetir buatku ke mana-mana. Suatu hari aku ingin bergantian untuk melakukannya untuk mereka.
Dua hari ini tiba-tiba aku punya keinginan untuk menjaga kesehatan. Agar aku bisa bersenang-senang dengan mereka lagi dan lagi. Agar kami tetap bisa menikmati lebih banyak pizza dan kopi bersama.
Dua hari ini tiba-tiba aku bisa merasakan bahwa skenario masa depan yang aku takutkan mungkin bisa jadi akan tetap mengerikan, tapi bisa jadi juga tetap akan tertahankan. Karena aku tahu dukungan dan bantuan selalu ada di pojok ruangan. Kapanpun aku siap merengkuhnya, aku tahun akan selalu menemukan cara untuk melanjutkan perjalanan.