Tuhan Tidak Tinggal di Rumah Tuhan

My Little Cave
3 min readMay 9, 2024

--

Aku mengetuk satu kali. Dua kali. Tiga kali. Aku berhenti sejenak, mencoba memutuskan apa harus mengetuk lagi. Kuketuk lagi satu kali. Dua kali. Tiga kali.

Photo by JP Pau on Unsplash

“Permisi. Tuhan, apakah Engkau di rumah?”

“Tok, tok, tok”.

“Permisi…”

Sepertinya Tuhan tidak berdiam di kediaman-Nya.

Seandainya saja Tuhan punya tetangga, mungkin aku bisa bertanya apakah hari ini ia melihat di mana Tuhan berada jika aku ingin menyapa-Nya.

Tuhan senantiasa bersemayam di tempat yang sama. Dan pada saat yang bersamaan, Tuhan juga menjangkau tempat-tempat yang berbeda. Tempat yang melampaui bagaimana umat manusia menyimbolkan bentuk-bentuk rumah tinggal-Nya.

Tuhan yang tunggal sepertinya tak punya rumah tinggal.

Rumah-Nya majemuk di antara doa-doa orang tua yang memohonkan keberkahan dan perlindungan bagi anaknya. Dan doa-doa anak yang memohonkan keselamatan bagi bapak ibunya--bahkan yang seumur-umur belum pernah ditemuinya. Atau yang lebih menyedihkan — yang ada tapi terasa tak pernah ada.

Tuhan lebih banyak ‘berkunjung’ dari sudut ke sudut kegigihan-kegigihan yang bisa terlihat dari pasar ke pasar. Di mana berekor-ekor pindhang disuguhkan kepada kucing-kucing liar yang diabaikan tuannya. Di mana kehormatan keridhoan pembeli dan penjual diamalkan. Di antara bismillah dan alhamdulillah yang diucapkan keduanya.

Tuhan lebih sering hadir di antara bangku-bangku tunggu rumah sakit. Di mana banyak doa dan banyak nazar yang hanya Tuhan yang bisa dengarkan. Tempat di mana hanya Tuhan yang mampu membantu dan memungkinkan keajaiban bagi orang yang disayang-- yang sebagian kemudian bertahan, dan sebagian lagi kemudian berpulang.

Tuhan mungkin lebih sering tinggal di antara doa-doa yang pasrah di tepi menyerah. Di tengah doa-doa yang marah, di antara doa-doa yang frustrasi, di antara doa-doa yang bahkan sudah tidak lagi menemukan kosakatanya.

Tuhan hadir di tengah gelisah seorang anak yang tak tahu apakah harus putus berkuliah karena penguasa yang tak paham ranah tapi pongah. Tuhan hadir bersama kakak dan adik yang hanya memiliki satu sama lain, berpelukan sembari mengamati dari kejauhan kekerasan dalam rumah tangganya.

Tuhan hadir di kerumunan keluarga yang datang dari desa untuk merayakan wisuda sarjana pertama dalam keluarga besarnya. Gelar yang diperoleh dengan begitu bangga, karena keyakinannya bahwa Tuhan akan aturkan rezekinya untuk mampu menuntaskan sekolah anak-anaknya.

Tuhan hadir di samping isak tangis orang-orang yang dirampas rumahnya, tanahnya, dan hak-hak kemanusiannya, oleh genosida, oleh pemahaman-pemahaman ahistoris yang bertopeng membawa-bawa nama perdamaian. Tuhan hadir di sisi seorang ayah yang kehilangan anak sekaligus istrinya ketika pergi sejenak mengambilkan biskuit kesukaan buah hatinya, menyaksikan keduanya menjadi korban ketamakan penjajahan di depan matanya.

Tuhan berkunjung menemani umat manusia yang harus menjadi sasaran serangan membabi buta hanya karena memuji-Nya dengan cara yang berbeda dari manusia-manusia yang mengaku imannya hebat sejagat.

Remuk. Benar-benar dunia yang remuk.

Tuhan ternyata tidak tinggal di rumah Tuhan. Dan hanya manusialah yang suka mengaku-aku sebagai kaki tangan Tuhan, yang seringnya tak mewakili ampunan, kasih, keramahan, dan keluasan yang Tuhan ajarkan.

Ternyata Tuhan tidak pernah ke mana-mana. Hanya berkunjung dari satu doa ke doa lainnya, pinta ke pinta berikutnya. Tuhan tidak tinggal di rumah Tuhan. Tuhan berjalan dari satu amin ke amin lainnya.

Sebelum beranjak, aku mencoba mengetuk pintu-Nya lagi.

Tuhan, apakah Engkau di rumah? Tuhan?”

Aku penasaran. Kucoba untuk membuka pintu itu pelan.

Ternyata tidak terkunci. Tidak pernah terkunci.

--

--

My Little Cave
My Little Cave

Written by My Little Cave

The little cave where I embrace big feelings.

Responses (1)