Untuk Merasa Dicintai, Manusia Rela Berjudi
Tidak merasa dicintai adalah sesuatu yang subjektif. Dan di saat bersamaan, hampir selalu terasa objektif dan tidak terbantahkan. Padahal perasaan tidak dicintai selalu merupakan sebuah hal yang hipotetikal, yang pembuktiannya hanya dapat dilakukan dengan dijalani dan diamati. Perasaan yang merupakan warisan turun temurun sejak terlahirnya budaya berkelompok dan saling berserikat melawan hewan buas, menghindari kelaparan dan kurangnya sumberdaya untuk bertahan.
Sebuah perasaan yang juga terasa seperti arisan. Di suatu hari kita memenangkan, di hari lain kita hanya duduk membayarkan iuran. Iuran dalam hidup lebih terasa seperti umur yang bertambah dengan konsekuensi melimpah. Komitmen yang tidak sadar pernah kita iyakan (mungkin?), tapi harus jalankan hingga akhir. Ide yang agak tidak adil, tapi manusia bisa apa.
Tidak ada yang memilih lahir di dunia yang jelas-jelas tidak adil. Tidak ada yang memilih mewarisi kekhawatiran konstan ditinggalkan kawanan.
Manusia adalah makhluk yang diberkati dengan kedalaman perasaan, kecerdasan kata hati yang tak dimiliki oleh bahkan seekor raja hutan. Di saat yang sama, manusia adalah yang paling patah hatinya di hadapan perpisahan, pengabaian, dan bentuk-bentuk ditinggalkan yang lainnya.
Manusia juga yang berlomba-lomba menciptakan pembaruan-pembaruan, kemajuan-kemajuan. Tapi manusia pula yang menemukan kesepian-kesepian dalam mutakhirnya temuan demi temuan.
Semua berujung satu: berlomba jadi yang paling disayang.
Sungguh kebutuhan yang sebenarnya cukup kuno, namun cukup abadi. Pada akhirnya kita hanya takut ditinggalkan sendirian, menavigasi banyak ketidakpastian, ketidakcukupan, ketidakmampuan.
Pada akhirnya kita hanya takut terpisahkan dari kawanan, dan berakhir menjadi mangsa kerakusan zaman dan banyak penghakiman, menjadi korban banyak keangkuhan dan keakuan.
Kita hidup di dunia yang penuh keanehan. Untuk bertahan saja kita harus bisa berdansa mengikuti ritme yang sering tak punya irama dan tak bisa diperhitungkan. Beberapa menyarankan berlindung di balik percintaan, sebagian lagi memilih berlindung di balik pesugihan.
Yang lain berakhir terjebak perjudian, dan tak sedikit yang hilang akal mencoba peruntungan. Beberapa hidup menelan obat-obatan, beberapa pergi dari terapi ke terapi. Sebagian memilih pamer kekayaan, sebagian menontonnya sembari hidup dalam kemiskinan. Beberapa merayakan pernikahan yang tak dimewahkan, beberapa kalut dalam kekerasan yang dibalut pencitraan.
Dunia yang tak adil sejak permulaan, namun banyak menjanjikan kemungkinan demi kemungkinan demi kemungkinan. Ketidakpastian dan probabilitas yang menuntut kreativitas membuat manusia begitu lincah menciptakan kepercayaan, begitu lihai mencari cara bersekutu dengan realita-realita yang bebal dan berkepala batu. Berjudi dengan waktu maupun dengan kartu, semua berujung satu:
Pada akhirnya kita tidak pernah benar-benar pandai berpisah dan terpisah. Terlebih dengan diri kita sendiri dan semua yang kita ikhtiarkan bersusah-susah.
Mungkin aku salah satu yang aneh memikirkan tidak karuan. Tapi di dunia yang aneh, memang butuh banyak strategi aneh untuk berjalan, untuk bertahan. Meski kadang payah, banyak cara tak terduga yang berguna juga.
Kuharap kita tak kehabisan gagasan untuk memeluk takdir hingga akhir. Semoga kita tak kehabisan tenaga untuk merangkul upaya, agar kelak kita bisa merangkum hidup dengan bangga — meski tak sering, meski sering berpaling.