Yang Paling Kutakutkan ketika Kembali dari Studi di Luar Negeri
Ketika itu musim gugur menjelang musim dingin di Inggris. Suhu satu digit adalah hal yang biasa di masa-masa seperti itu. Jadinya, tinggal di rumah, mengenakan piyama tebal dan menyesapi minuman hangat adalah pilihan yang sangat menyenangkan. Menjelang sore, biasanya saya berkumpul dengan kawan-kawan sesama penghuni rumah lainnya. Mengobrol ngalor ngidul, sambil menunggu matahari terbenam pukul 8 malam — yang menjelang winter, selalu masih terang benderang.
Hari itu, jika saya tidak salah mengingat, adalah dua bulan sebelum tanggal berakhirnya masa studi. Sambil menggenggam secangkir kopi susu hangat di tangan, kami berefleksi tentang perjalanan belajar sejauh ini dan bagaimana rencana kami selanjutnya setelah sama-sama berpisah jalan. Percakapan sore itu membuat saya cukup merenung. Membayangkan bagaimana jika setelah pulang nanti, saya jadi sedikit kehilangan kepekaan. Saya akan jelaskan kenapa…
Bisa berada di negeri semaju ini dan mengecap rasanya mengenyam bangku pendidikan tinggi adalah sebuah privilege luar biasa. Bisa terlibat dalam diskusi-diskusi ilmiah di tengah pelajar-pelajar dan pengajar-pengajar yang hebat, bahkan sebagian dari mereka memiliki kontribusi akademis dan praktis yang tidak main-main.
Ketika menghadiri kelas, saya seringkali bisa asyik mendengarkan diskusi-diskusi mereka yang berbobot, menikmati tukar-menukar pendapat kritis yang terjadi di kelas. Berbeda dengan pengalaman belajar di Indonesia, di Inggris para dosen lebih memposisikan dirinya sebagai fasilitator atau kawan diskusi. Kecuali ketika menyampaikan materi ceramahnya, mereka tidak mendominasi interaksi di kelas.
Kami semua diminta memahami bahan bacaan tertentu sebelum menghadiri kelas, sehingga setiap orang akan punya pre-knowledge yang setara ketika bacaan itu dibahas. Dan karena itulah diskusi-diskusi yang terjadi di kelas menjadi seru. Karena yang membedakan setiap orang adalah persepsi dan interpretasi masing-masing, yang jelas pasti beragam. Perdebatan akan selalu tidak terhindarkan. Tetapi itulah karakter yang menjadikan sains adalah sains, yang menjadikan ilmu bisa dianggap ilmiah: siap disalahkan, dievaluasi, dan diberi masukan.
Dan di akhir hari, karakter inilah yang mengajarkan kami untuk saling menghormati bingkai berpikir yang berbeda. Bahwa salah satu indikasi kematangan dalam belajar adalah menerima jika terkadang tidak apa menjadi sepakat untuk tidak bersepakat. Bisa berada di forum-forum belajar seperti ini adalah sebuah privilege yang mengizinkan saya melihat diri sendiri dengan lebih objektif. Menyadari bahwa masih banyak yang lebih hebat, menyadari bahwa jalan saya masih panjang dalam memahami dunia dan diri sendiri.
Anyway, kembali bicara soal percakapan sore hari bersama kawan serumah…
Percakapan kali itu membuat saya berefleksi tentang apa yang bisa saya berikan ketika pulang nanti. Bagaimana saya bisa berkontribusi dengan bekal yang sejauh ini saya miliki. Ada ketakutan akan jebakan bingkai berpikir elitis yang kesulitan membaca penderitaan dan kesenjangan yang dirasakan oleh kelompok yang less privileged. Saya sangat menyadari, bukan tidak mungkin beberapa saat saya akan terjebak arogansi ilmuwan newbie, yang mungkin take themselves too seriously. Akibatnya, bisa ceroboh memahami realita di sekitar karena masih sempit perspektif lapangannya.
Pulang ke Indonesia setelah beberapa waktu menikmati privilege berada di negara yang lebih maju, perlu diakui tidak akan semudah membalik telapak tangan. Saya juga menyadari, sengaja tidak sengaja, sedikit banyak akan selalu ada rasa membandingkan negara sendiri dengan negara yang maju duluan. Kembali terkejut-kejut beradaptasi dengan resistensi berlabel ‘terlalu percaya ilmu barat’ yang kadang justru berasal dari orang-orang yang dekat.
Hari ini hampir dua bulan sejak saya kembali menapakkan kaki di negeri sendiri. Dan perlu diakui, saya masih harus terus menerus mengingatkan diri sendiri bahwa masih banyak yang belum saya ketahui, masih banyak yang perlu saya dengarkan, masih banyak yang masih belum saya mengerti. Bahwa ilmu yang saya pelajari tidak akan berarti, jika gagal mempedulikan kontekstualisasi. Bahwa pendidikan tinggi tidak lebih dari sekadar gelar, jika tidak dibawakan dengan kemauan dan kecakapan berempati. Bahwa teori tidak akan bermakna, jika tidak dihormati dengan praktik yang beretika.